Powered By Blogger

Sabtu, 05 Oktober 2024

KESALEHAN SPIRITUAL DAN KESALEHAN SOSIAL DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA


KESALEHAN SPIRITUAL DAN KESALEHAN SOSIAL DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro




Jika kita perhatikan kondisi keberagamaan umat Islam saat ini (khususnya di Indonesia), maka kita pasti sepakat menyimpulkan bahwa semangat beragama masyarakat saat ini semakin baik. Masyarakat saat ini telah mengalami peningkatan dalam pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa indikator seperti semakin banyaknya jumlah muslimah yang mengenakan pakaian hijab, meningkatnya semangat kaum muslim memanjangkan jenggot, meningkatnya kesadaran umat Islam untuk menghafalkan Al-Quran, meningkatnya jumlah tempat-tempat ibadah (masjid dan mushalla) yang dibangun, munculnya sejumlah ustadz-ustaz muda yang berdakwah menyebarkan ajaran Islam, dan lain sebagainya. Semua fenomena ini menunjukkan bahwa ghirah (semangat) beragama masyarakat Indonesia semakin meningkat. Dan hal ini sangat patut untuk kita syukuri. Alhamdulillah.

Fenomena lain yang layak untuk kita syukuri adalah bahwa setiap tahun ratusan ribu umat Islam di Indonesia berangkat menunaikan ibadah haji. Daftar tunggu untuk keberangkatan ibadah haji juga semakin lama (sudah mencapai 20 tahun) karena membludaknya umat Islam yang ingin menunaikan ibadah haji. Fenomena membludaknya jumlah calon jamaah haji menunjukkan adanya korelasi bahwa tingkat perekonomian umat Islam di Indonesia telah baik dan terus meningkat baik. Kondisi seperti ini layak untuk disyukuri karena menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia hidupnya semakin sejahtera dan berkecukupan. Meningkatnya jumlah calon jamaah haji juga menunjukkan semakin tingginya kesadaran spiritual umat Islam di Indonesia. Apakah hipotesis seperti ini benar? Apakah meningkatnya kesadaran beragama umat Islam di Indonesia telah berdampak positif terhadap kualitas kehidupan umat Islam secara luas? Apakah ada data-data yang dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan ini?

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai 237 juta jiwa, dan 87,34%-nya adalah beragama Islam [1]. Jadi umat Islam merupakan umat mayorits terbesar dibandingkan dengan umat pemeluk agama lain. Artinya dari perbandingan jumlah pemeluk agama di Indonesia, maka mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam. Sementara itu, data dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menyatakan bahwa potensi penerimaan zakat di Indonesia tahun 2015 mencapai 286 triliun rupiah. Suatu angka nominal yang sangat-sangat besar sekali. Tetapi sayangnya, realisasi penerimaan zakat di Indonesia baru 3,7 triliun rupiah atau hanya sekitar 1,3 % dari potensinya [2]. Data ini cukup mencengangkan karena data ini seolah-olah menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat muslim di Indonesia untuk membayar zakat masih rendah. Sementara data jumlah jamaah haji Indonesia menunjukkan fenomena yang bertolak belakang atau berseberangan dengan fenomena data Baznas yaitu bahwa setiap tahun jumlah jamaah haji Indonesia mencapai 221 orang dan lebih dari 1,2 juta muslim Indonesia melaksanakan ibadah umrah setiap tahunnya [3]. Kedua data tersebut menunjukkan bahwa ada sesuatu permasalahan yang cukup penting untuk ditelaah dan segera dicari solusi pemecahan permasalahan tersebut.

Data kesenjangan jumlah potensi penerimaan zakat dan realisasi penerimaannya dan data jumlah jamaah haji dan umrah setiap tahun hanyalah sebagian kecil dari permasalahan umat Islam di Indonesia. Masih banyak permasalahan-permasalahan umat Islam yang perlu dicari solusinya dalam rangka memperbaiki pola kehidupan beragama di masyarakat. Munculnya fenomena kesenjangan antara meningkatnya kesadaran spiritual (fenomena penggunaan simbol-simbol Islam seperti pakaian hijab, memelihara jenggot, olah raga naik kuda, kegiata memanah, dan lain sebagainya) dengan masih rendahnya kesadaran kepedulian sosial (masih banyaknya jumlah umat Islam yang miskin, sedikitnya jumlah penerimaan zakat, masih menjamurnya para pengemis di jalan-jalan raya, dan lain sebagainya) menunjukkan bahwa ada fenomena pemahaman yang “salah” terhadap ajaran Islam. Islam yang sebenarnya bersifat rahmatan lil’alamin, yakni bermanfaat bagi seluruh alam melalui perilaku dan akhlak para pemeluknya ternyata belum tampak secara signifikan di dalam perikehidupan sehari-hari. Masih banyak dijumpai di masyarakat adanya kesenjangan yang sangat jauh di tingkat perekonomian antar umat Islam dan masih terdapat jurang pemisah yang nyata antara umat Islam golongan aghniya dengan umat Islam golongan dhuafa.

Zakat sebagai sebagai salah salah rukun Islam yang dapat dipandang sebagai solusi atas permasalahan perekonomian umat Islam dalam praktiknya ternyata belum mampu menjadi solusi yang jitu. Hal ini kalau dikaitkan dengan data dari Baznas tentang masih sangat kecilnya penerimaan zakat dari umat Islam yang terkena hukum wajib berzakat. Maka dapat dipahami bahwa permasalahan perekonomian umat Islam tidak segera dapat teratasi karena masih rendahnya kesadaran sebagian besar umat Islam (golongan wajib zakat) yang masih enggan menunaikan kewajibannya membayar zakat (zakat mal).

Selain hipotesis tentang masih rendahnya kesadaran umat Islam yang membayar zakat, data Baznas tersebut kemungkinan juga dipengaruhi oleh fakta bahwa belum semua lembaga-lembaga pengelola zakat (lazis) yang terdata secara resmi di Baznas. Hal ini dapat kita lihat bahwa di mana-mana dapat ditemui berbagai macam lembaga atau yayasan yang mengelola/menerima zakat dari umat. Jadi data Baznas tentang masih sangat kecilnya jumlah penerimaan zakat dari potensi yang seharusnya diterima kemungkinan ada dua factor penyebabnya, yaitu memang karena umat Islam masih rendah tingkat kesadarannya untuk membayar zakat atau karena data-data penerimaan zakat di lembaga-lembaga atau yayasan Islam yang belum terdata oleh Baznas. Walaupun begitu, yang pasti permasalahan jumlah penduduk Indonesia yang miskin (yang mayoritas beragama Islam) masih sangat banyak dan perlu segera mendapat solusi pemecahannya.

Permasalahan tingkat perekonomian umat Islam di Indonesia yang mayoritas masih rendah mengindikasikan adanya kesenjangan antara tingkat kesalehan spiritual dengan tingkat kesalehan sosial. Semakin tinggi tingkat kesalehan spiritual seseorang (dapat dilihat dari indiktor simbol-simbol agama yang dipakai dan ritual-ritual ibadah yang dilakukan) seharusnya diiringi dengan semakin tinggi tingkat kesalehan sosial. Semakin agamis (religius) seseorang seharusnya semakin humanis sikapnya dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat. Semakin alim seseorang seharusnya juga semakin santun dan lemah lembut ketika berinteraksi dengan orang lain.

Seorang muslim memiliki dua jenis hubungan yakni hubungan pertama adalah hubungan dengan Allah Swt (hablum minallah) dan hubungan kedua adalah hubungan antara sesamamanusia (hablum minnas). Hubungan pertama akan membentuk kesalehan spiritual sedangkan hubungan kedua akan membentuk kesalehan sosial. Kedua hubungan tersebut seharusnya berjalan secara seimbang, tidak dominan salah satu saja. Setiap umat Islam seharusnya kuat jiwa spiritualnya dan juga kuat jiwa sosialnya. Pentingnya menjaga keseimbangan urusan dunia dan urusan akhirat secara tegas dinyatakan Allah Swt dalam firman-Ny: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia…”(QS. Al-Qashash [28]: 77).

Firman Allah Swt tersebut di atas menganjurkan bahwa setiap umat Islam seharusnya rajin dan khusuk dalam menjalankan ibadah (urusan akhirat), tetapi juga harus rajin dalam berbuat kebaikan dan memberi manfaat bagi sesama manusia (urusan dunia). Dunia adalah jalan menuju akhirat. Dunia adalah sarana untuk mempersiapkan bekal hidup di akhirat. Oleh karena itu, sebenarnya kebaikan yang kita lakukan sewaktu hidup di dunia ini adalah bekal untuk hidup di akhirat kelak. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa khairunnas anfa’uhum linnas yang artinya sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Hadis ini dapat dipahami bahwa seseorang itu dikategorikan baik bukan karena rajinnya ia beribadah tetapi dilihat dari seberapa banyak ia memberi manfaat bagi orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya permasalahan perekonomian umat Islam karena masih adanya semacam “kesalahpahaman” sebagian umat Islam dalam memahami ajaran Islam. Ada sebagian umat Islam yang menganggap bahwa Islam hanya berkaitan dengan hidup di akhirat. Ada sebagian umat Islam yang hanya mengejar kesalehan spiritual (beribadan untuk menyiapkan bekal hidup di akhirat) dan mengesampingkan kesalehan sosial (berbuat baik dan memberi manfaat bagi sesame manusia). Solusi atas permasalah perekonomian umat Islam adalah gerakan menyadarkan umat Islam bahwa Islam memerintahkan menjaga keseimbangan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Perlu terus digalakkan kesadaran umat Islam untuk membentuk dirinya menjadi pribadi-pribadi yang saleh spiritual dan saleh sosial. Wallahu a’lam. []


Referensi:

[1] Badan Pusat Statistik, 2010, Data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010, tersedia online di http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321
[2] Badan Amil Zakat Nasional, 2016, Baznas: Pembayaran Zakat di Indonesia Hanya 1,3 Persen dari Potensi, tersedia online di http://nasional.kompas.com/.../baznas.pembayaran.zakat.di...
[3] Republika, 2019, Setiap Tahun 1,4 Juta Jamah Indonesia Pergi Haji dan Umrah, tersedia online di https://www.republika.co.id/.../pnkdqc366-setiap-tahun-14...

Tidak ada komentar:

Postingan Populer