Powered By Blogger

Selasa, 26 November 2024

MENULIS UNTUK AKTUALISASI DAN EKSISTENSI DIRI

 


MENULIS UNTUK AKTUALISASI DAN EKSISTENSI DIRI

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

            Mengapa kita harus menulis? Sebuah pertanyaan yang singkat, pendek, dan sederhana, tetapi jawabannya memerlukan proses pemikiran yang panjang. Mengapa? Karena menulis itu bukan hanya sekadar aktivitas psikomotorik fisik atau jasmani (yakni menulis atau mengetik dengan menggunakan jari-jari tangan), melainkan juga melibatkan aktivitas kognitif dan psikis. Menulis memerlukan proses berpikir yang melibatkan aktivitas kognitif. Untuk bisa menulis harus memerlukan bahan bacaan. Bahan menulis adalah apa-apa yang tersimpan dalam sistem memori dari hasil kegiatan membaca dalam arti sempit (yakni membaca tulisan) maupun membaca dalam arti luas (yakni segala aktivitas yang melibatkan proses berpikir, merenung, menganalisis, hingga mensintesis dan mengkreasi hasil pemikiran).

            Menulis merupakan kegiatan memelihara peradaban. Kita semua sudah mengetahui bahwa kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari kegiatan menulis. Kita bisa mengetahui peradaban manusia zaman dulu melalui bukti-bukti peninggalan zaman dulu dalam bentuk tulisan (baik dalam bentuk tulisan sederhana berupa simbol-simbol atau gambar-gambar, maupun dalam bentuk kitab atau buku hasil karya para penulis). Melalui kegiatan menelusuri atau membaca tulisan-tulisan orang zaman dulu, kita mampu mengetahui bagaimana kondisi kehidupan orang zaman dulu. Pun demikian pula kita saat ini, apa yang kita tulis sekarang bisa jadi akan menjadi bukti eksistensi manusia zaman sekarang bagi manusia di masan depan. Manusia di masa depan akan mengetahui peradaban sekarang melalui tulisan-tulisan yang dihasilkan para penulis saat ini.

            Melalui aktivitas menulis, manusia dapat mentransfer pengetahuan kepada manusia lain melintasi batas ruang dan waktu. Manfaat menulis bahkan mampu menembus batas generasi, yakni manusia generasi di masa depan masih dapat membaca tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh penuliis masa sekarang. Menulis bisa menjadi sarana untuk mengaktualisasikan diri melalui ide gagasan pemikiran terhadap kondisi lingkungan sekitar. Melalui aktivitas menulis, kita dapat menuangkan pandangan dan pemikiran terkait bagaimana mensikapi perubahan di masyarakat. Melalui aktivitas menulis juga kita dapat menggunakan sebagai sarana membuktikan keberadaan diri kita atau eksisestensi kita di kehidupan bermasyarakat. Banyak orang yang dikenal karena tulisan-tulisannya walaupun belum atau tidak pernah bertemu secara langsung.

            Menulis dapat menjadi sarana pembuktian bahwa seseorang itu ada (eksis). Keberadaan seseorang dapat diakui sebagai sejarah manakala orang tersebut mewariskan (legacy) karya tulisnya, misalnya berupa buku atau kitab. Sebagaimana contoh pentingnya meninggalkan legacy berupa karya tulis sebagai bukti keberadaan atau eksistensi diri adalah kasus tentang keberadaan Wali Songo di tanah Jawa. Ada sebagian orang yang tidak percaya bahwa Wali Songo itu pernah ada dan yang menyebarkan (mendakwahkan) agama Islam di tanah Jawa. Alasan mereka yang meragukan eksistensi Wali Songo adalah bahwa tidak ditemukan kitab peninggalan/karangan para Wali Songo. Mereka berargumen bahwa jika memang benar Islam datang ke Indonesia, khususnya ke pulau Jawa karena didakwahkan oleh para Wali Songo, seharusnya ada satu atau  beberapa kitab karangan Wali Songo.

Argumentasi sebagian orang tersebut di atas ada benarnya juga walaupun tidak seratus persen benar karena bukti eksistensi seseorang tidak hanya berwujud karya tulis, tetapi bisa berwujud benda-benda purbakala. Tetapi logikanya memang seharusnya ada minimal satu judul buku/kitab karangan Wali Songo karena pengamalan ajaran Islam di tanah Jawa berbeda dengan yang di Arab Saudi tempat asalnya agama Islam. Hal itu menunjukkan bahwa para Wali Songo pasti melakukan kreativitas dan inovasi dalam menyampaikan dakwahnya ke masyarakat tanah Jawa. Kalau benar bahwa Wali Songo telah berkreasi dan berinovasi dalam metode dakwahnya dengan memasukkan unsur budaya dalam pengamalan ajaran agama Islam, masak mereka sama sekali tidak ada yang menuliskannya dalam sebuah kitab? Masak para Wali Songo tidak ada yang bisa menulis kitab?

            Kasus tentang diragukannya keberadaan (eksistensi) Wali Songo sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa hanya karena tidak ditemukannya satupun kitab karangan Wali Songo membuktikan betapa pentingnya aktivitas menulis sebagai bukti eksistensi diri. Walaupun eksistensi Wali Songo zaman dulu di tanah Jawa dapat dibuktikan dengan cara lain selain peninggalan kitab karangan mereka, setidaknya munculnya polemik tersebut menunjukkan bahwa betapa pentingnya kegiatan tulis-menulis, terutama menulis buku (kitab). Buku, kitab, maupun karya-karya tulis lainnya dapat menjadi bukti eksistensi penulisnya sehingga menjadi sejarah, bukan hanya sekadar mitos atau cerita rakyat.

Aktivitas menulis merupakan bagian dari menulis sejarah. Legacy atau warisan tulisan para penulis itulah yang suatu saat nanti menjadi bukti sejarah keberadaan (eksistensi) sang penulis. Apalagi jika ada penulis yang menulis biografi seorang tokoh, maka tokoh tersebut akan tercatat dalam sejarah bahwa tokoh tersebut nyata ada, bukan tokoh fiktif. Selain menuliskan biografi para tokoh, penulis juga bisa menulis biografinya sendiri yang disebut buku autobiografi sebagai upaya untuk dikenang dalam sejarah. Walaupun menulis biografi orang lain juga otomatis menunjukkan eksistensi penulisnya sehingga tokoh dan penulisnya sama-sama tercatat dalam sejarah.

Menulis juga merupakan aktivitas memelihara peradaban. Peradaban yang maju dimulai dari aktivitas menulis dan tentunya membaca. Bangsa yang aktif membaca dan produktif menulis pasti akan menjadi bangsa yang maju dan memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Belum ada ceritanya ada suatu bangsa yang gemar membaca dan menulis mengalami kemunduran peradaban. Justru sebaliknya, bangsa tersebut pasti menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan terhormat. Jikapun kemudian bangsa tersebut akhirnya hancur dan hilang, maka kemungkinan besar generasi penerusnya tidak melanjutkan tradisi baik yang dilakukan pendahulunya, yaitu kegiatan membaca, meneliti, dan menulis.

Sejarah telah mencatat bahwa di Timur Tengah pernah ada peradaban maju sebelum munculnya peradaban maju bangsa Eropa, yaitu peradaban Islam. Peradaban maju negara-negara Islam di jazirah Arab dikenal sejarah berangkat dari tingginya aktivitas membaca dan menulis. Sejarah mencatat nama-nama ilmuwan muslim yang memiliki nama besar karena jasa-jasanya dalam memajukan ilmu sains melalui peninggalan karya-karya tulisnya (kitab). Dunia mengetahui eksistensi para ilmuwan muslim tersebut karena mereka meninggalkan karya-karya tulis berupa kitab. Tetapi sayangnya peradaban maju tersebut akhirnya mengalami kemunduran karena generasi penerusnya tidak melanjutkan tradisi ilmiah yang sudah dibangun oleh para pendahulunya. Akhirnya tradisi ilmiah tersebut justru diwarisi dan dilanjutkan oleh bangsa-bangsa Eropa sehingga membuat bangsa-bangsa Eropa bangkit dan peradabannya menjadi maju pesat hingga sekarang dan bahkan menjadi pusatnya peradaban dunia.

Belajar dari sejarah perpindahan pusat peradaban dunia dari daratan timur tengah (jazirah Arab) bergeser ke daratan benua Eropa, kita dapat mengambil pelajaran berharga bahwa majunya peradaban suatu negara ditentukan oleh aktivitas membaca dan menulis. Bangsa-bangsa di dunia yang saat ini menguasai dunia (pusat peradaban maju) dulunya juga berasal dari negara terbelakang. Tetapi karena kesadaran warga negaranya yang tinggi terhadap aktivitas membaca dan menulis, maka mereka akhirnya bisa bangkit dan menjadi negara yang maju, modern, dan sejahtera.

Bangsa Indonesia memiliki sejarah sebagai bangsa yang besar dengan bekas-bekas peninggalan peradaban maju, dan juga dikenal sebagai pusat pengkajian ilmu. Tetapi mengapa bangsa Indonesia bisa sampai dijajah oleh bangsa lain ratusan tahun dan hingga sekarang belum juga menjadi negara yang maju dan sejahtera? Mungkin jawaban atas pertanyaan ini bisa dikaitkan dengan budaya membaca dan menulis warga negara Indonesia. Bagaimana tingkat membaca dan menulis (literasi) bangsa Indonesia dibandingkan bangsa-bangsa lain di dunia? Bagaimana budaya membaca dan menulis masyarakat Indonesia? Pasti kita semua sepakat bahwa tradisi membaca dan menulis belum menjadi budaya bangsa Indonesia, apalagi menjadi kebutuhan penting. Orang-orang Indonesia masih lebih memilih membeli makanan dan minuman (bukan makanan pokok) dibandingkan membeli buku.

Fakta bahwa orang-orang Indonesia masih lebih mementingkan urusan perut dibandingkan urusan kepala tidak perlu dibantah. Inilah kondisi nyata masyarakat bangsa kita. Mau sedih atau malu, terserah. Tetapi yang jelas, menjadi tugas kita bersama untuk mengubah kondisi menyedihkan tersebut. Kita semua harus bangkit memajukan bangsa Indonesia melalui pembudayaan membaca dan menulis. Mari memulai dari diri sendiri untuk berkontribusi positif bagi kemajuan negeri tercinta. Semangat !!!

 

Gumpang Baru, 18 September 2024

Tidak ada komentar:

Postingan Populer