MENULIS UNTUK AKTUALISASI DAN EKSISTENSI DIRI
Oleh:
Agung Nugroho
Catur Saputro
Mengapa kita harus menulis? Sebuah
pertanyaan yang singkat, pendek, dan sederhana, tetapi jawabannya memerlukan
proses pemikiran yang panjang. Mengapa? Karena menulis itu bukan hanya sekadar
aktivitas psikomotorik fisik atau jasmani (yakni menulis atau mengetik dengan
menggunakan jari-jari tangan), melainkan juga melibatkan aktivitas kognitif dan
psikis. Menulis memerlukan proses berpikir yang melibatkan aktivitas kognitif.
Untuk bisa menulis harus memerlukan bahan bacaan. Bahan menulis adalah apa-apa
yang tersimpan dalam sistem memori dari hasil kegiatan membaca dalam arti
sempit (yakni membaca tulisan) maupun membaca dalam arti luas (yakni segala
aktivitas yang melibatkan proses berpikir, merenung, menganalisis, hingga
mensintesis dan mengkreasi hasil pemikiran).
Menulis merupakan kegiatan
memelihara peradaban. Kita semua sudah mengetahui bahwa kemajuan peradaban
manusia tidak bisa dilepaskan dari kegiatan menulis. Kita bisa mengetahui
peradaban manusia zaman dulu melalui bukti-bukti peninggalan zaman dulu dalam
bentuk tulisan (baik dalam bentuk tulisan sederhana berupa simbol-simbol atau
gambar-gambar, maupun dalam bentuk kitab atau buku hasil karya para penulis). Melalui
kegiatan menelusuri atau membaca tulisan-tulisan orang zaman dulu, kita mampu
mengetahui bagaimana kondisi kehidupan orang zaman dulu. Pun demikian pula kita
saat ini, apa yang kita tulis sekarang bisa jadi akan menjadi bukti eksistensi
manusia zaman sekarang bagi manusia di masan depan. Manusia di masa depan akan
mengetahui peradaban sekarang melalui tulisan-tulisan yang dihasilkan para
penulis saat ini.
Melalui aktivitas menulis, manusia
dapat mentransfer pengetahuan kepada manusia lain melintasi batas ruang dan
waktu. Manfaat menulis bahkan mampu menembus batas generasi, yakni manusia
generasi di masa depan masih dapat membaca tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh
penuliis masa sekarang. Menulis bisa menjadi sarana untuk mengaktualisasikan
diri melalui ide gagasan pemikiran terhadap kondisi lingkungan sekitar. Melalui
aktivitas menulis, kita dapat menuangkan pandangan dan pemikiran terkait
bagaimana mensikapi perubahan di masyarakat. Melalui aktivitas menulis juga
kita dapat menggunakan sebagai sarana membuktikan keberadaan diri kita atau
eksisestensi kita di kehidupan bermasyarakat. Banyak orang yang dikenal karena
tulisan-tulisannya walaupun belum atau tidak pernah bertemu secara langsung.
Menulis dapat menjadi sarana
pembuktian bahwa seseorang itu ada (eksis). Keberadaan seseorang dapat diakui
sebagai sejarah manakala orang tersebut mewariskan (legacy) karya tulisnya, misalnya berupa buku atau kitab. Sebagaimana
contoh pentingnya meninggalkan legacy
berupa karya tulis sebagai bukti keberadaan atau eksistensi diri adalah kasus
tentang keberadaan Wali Songo di tanah Jawa. Ada sebagian orang yang tidak
percaya bahwa Wali Songo itu pernah ada dan yang menyebarkan (mendakwahkan)
agama Islam di tanah Jawa. Alasan mereka yang meragukan eksistensi Wali Songo
adalah bahwa tidak ditemukan kitab peninggalan/karangan para Wali Songo. Mereka
berargumen bahwa jika memang benar Islam datang ke Indonesia, khususnya ke pulau
Jawa karena didakwahkan oleh para Wali Songo, seharusnya ada satu atau beberapa kitab karangan Wali Songo.
Argumentasi
sebagian orang tersebut di atas ada benarnya juga walaupun tidak seratus persen
benar karena bukti eksistensi seseorang tidak hanya berwujud karya tulis,
tetapi bisa berwujud benda-benda purbakala. Tetapi logikanya memang seharusnya
ada minimal satu judul buku/kitab karangan Wali Songo karena pengamalan ajaran
Islam di tanah Jawa berbeda dengan yang di Arab Saudi tempat asalnya agama
Islam. Hal itu menunjukkan bahwa para Wali Songo pasti melakukan kreativitas
dan inovasi dalam menyampaikan dakwahnya ke masyarakat tanah Jawa. Kalau benar
bahwa Wali Songo telah berkreasi dan berinovasi dalam metode dakwahnya dengan
memasukkan unsur budaya dalam pengamalan ajaran agama Islam, masak mereka sama
sekali tidak ada yang menuliskannya dalam sebuah kitab? Masak para Wali Songo
tidak ada yang bisa menulis kitab?
Kasus tentang diragukannya
keberadaan (eksistensi) Wali Songo sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa
hanya karena tidak ditemukannya satupun kitab karangan Wali Songo membuktikan
betapa pentingnya aktivitas menulis sebagai bukti eksistensi diri. Walaupun
eksistensi Wali Songo zaman dulu di tanah Jawa dapat dibuktikan dengan cara
lain selain peninggalan kitab karangan mereka, setidaknya munculnya polemik
tersebut menunjukkan bahwa betapa pentingnya kegiatan tulis-menulis, terutama
menulis buku (kitab). Buku, kitab, maupun karya-karya tulis lainnya dapat
menjadi bukti eksistensi penulisnya sehingga menjadi sejarah, bukan hanya
sekadar mitos atau cerita rakyat.
Aktivitas
menulis merupakan bagian dari menulis sejarah. Legacy atau warisan tulisan para penulis itulah yang suatu saat
nanti menjadi bukti sejarah keberadaan (eksistensi) sang penulis. Apalagi jika
ada penulis yang menulis biografi seorang tokoh, maka tokoh tersebut akan
tercatat dalam sejarah bahwa tokoh tersebut nyata ada, bukan tokoh fiktif. Selain
menuliskan biografi para tokoh, penulis juga bisa menulis biografinya sendiri
yang disebut buku autobiografi sebagai upaya untuk dikenang dalam sejarah.
Walaupun menulis biografi orang lain juga otomatis menunjukkan eksistensi
penulisnya sehingga tokoh dan penulisnya sama-sama tercatat dalam sejarah.
Menulis
juga merupakan aktivitas memelihara peradaban. Peradaban yang maju dimulai dari
aktivitas menulis dan tentunya membaca. Bangsa yang aktif membaca dan produktif
menulis pasti akan menjadi bangsa yang maju dan memiliki tingkat peradaban yang
tinggi. Belum ada ceritanya ada suatu bangsa yang gemar membaca dan menulis
mengalami kemunduran peradaban. Justru sebaliknya, bangsa tersebut pasti
menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan terhormat. Jikapun kemudian bangsa
tersebut akhirnya hancur dan hilang, maka kemungkinan besar generasi penerusnya
tidak melanjutkan tradisi baik yang dilakukan pendahulunya, yaitu kegiatan
membaca, meneliti, dan menulis.
Sejarah
telah mencatat bahwa di Timur Tengah pernah ada peradaban maju sebelum
munculnya peradaban maju bangsa Eropa, yaitu peradaban Islam. Peradaban maju
negara-negara Islam di jazirah Arab dikenal sejarah berangkat dari tingginya aktivitas
membaca dan menulis. Sejarah mencatat nama-nama ilmuwan muslim yang memiliki
nama besar karena jasa-jasanya dalam memajukan ilmu sains melalui peninggalan
karya-karya tulisnya (kitab). Dunia mengetahui eksistensi para ilmuwan muslim
tersebut karena mereka meninggalkan karya-karya tulis berupa kitab. Tetapi
sayangnya peradaban maju tersebut akhirnya mengalami kemunduran karena generasi
penerusnya tidak melanjutkan tradisi ilmiah yang sudah dibangun oleh para
pendahulunya. Akhirnya tradisi ilmiah tersebut justru diwarisi dan dilanjutkan oleh
bangsa-bangsa Eropa sehingga membuat bangsa-bangsa Eropa bangkit dan
peradabannya menjadi maju pesat hingga sekarang dan bahkan menjadi pusatnya
peradaban dunia.
Belajar
dari sejarah perpindahan pusat peradaban dunia dari daratan timur tengah (jazirah
Arab) bergeser ke daratan benua Eropa, kita dapat mengambil pelajaran berharga
bahwa majunya peradaban suatu negara ditentukan oleh aktivitas membaca dan
menulis. Bangsa-bangsa di dunia yang saat ini menguasai dunia (pusat peradaban
maju) dulunya juga berasal dari negara terbelakang. Tetapi karena kesadaran
warga negaranya yang tinggi terhadap aktivitas membaca dan menulis, maka mereka
akhirnya bisa bangkit dan menjadi negara yang maju, modern, dan sejahtera.
Bangsa
Indonesia memiliki sejarah sebagai bangsa yang besar dengan bekas-bekas
peninggalan peradaban maju, dan juga dikenal sebagai pusat pengkajian ilmu.
Tetapi mengapa bangsa Indonesia bisa sampai dijajah oleh bangsa lain ratusan
tahun dan hingga sekarang belum juga menjadi negara yang maju dan sejahtera? Mungkin
jawaban atas pertanyaan ini bisa dikaitkan dengan budaya membaca dan menulis
warga negara Indonesia. Bagaimana tingkat membaca dan menulis (literasi) bangsa
Indonesia dibandingkan bangsa-bangsa lain di dunia? Bagaimana budaya membaca
dan menulis masyarakat Indonesia? Pasti kita semua sepakat bahwa tradisi
membaca dan menulis belum menjadi budaya bangsa Indonesia, apalagi menjadi
kebutuhan penting. Orang-orang Indonesia masih lebih memilih membeli makanan
dan minuman (bukan makanan pokok) dibandingkan membeli buku.
Fakta
bahwa orang-orang Indonesia masih lebih mementingkan urusan perut dibandingkan
urusan kepala tidak perlu dibantah. Inilah kondisi nyata masyarakat bangsa
kita. Mau sedih atau malu, terserah. Tetapi yang jelas, menjadi tugas kita
bersama untuk mengubah kondisi menyedihkan tersebut. Kita semua harus bangkit
memajukan bangsa Indonesia melalui pembudayaan membaca dan menulis. Mari memulai
dari diri sendiri untuk berkontribusi positif bagi kemajuan negeri tercinta.
Semangat !!!
Gumpang Baru, 18
September 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar