Powered By Blogger

Senin, 30 Oktober 2023

HIDUP SEDERHANA SESUAI TUNTUNAN AGAMA, MUDAHKAH?


Sumber Gambar: https://www.finansialku.com/hidup-sederhana/


HIDUP SEDERHANA SESUAI TUNTUNAN AGAMA, MUDAHKAH?

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro




Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah kehidupan dan bagaimana kehidupan dijalani. Hidup menurut Islam bukanlah sekadar memenuhi semua kebutuhan jasmani dan rohani. Hidup menurut Islam lebih dari itu semua, orang hidup selain dituntut memenuhi hak dan kebutuhan dirinya juga dituntut untuk memenuhi kewajibannya terhadap Tuhannya. Maka dalam menjalani kehidupan ini, setiap orang Islam seharusnya mengadopsi rambu-rambu atau panduan bagaimana Islam mengatur kehidupan.


Dalam Al-Quran surat An-Nahl [16]: 96 Allah Swt berfirman:

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. dan Sesungguhnya kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S. An-Nahl [16]: 96).

Ayat ini memberitahukan bahwa kehidupan di dunia ini adalah bersifat sementara, sedangkan kehidupan akhirat itu adalah kekal. Karena kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, maka semua yang kita miliki juga bersifat sementara atau suatu saat akan hilang atau kita tinggalkan. Sedangkan kehidupan akhirat itu kekal, maka sudah sepantasnyalah kalau kita selama hidup di dunia ini sambil mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat. Selama menjalani kehidupan di dunia ini, kita harus selalu sabar dalam menghadapi segala masalah dan ujian kehidupan karena kehidupan di dunia memang penuh ujian. Hanya orang-orang yang sabar sajalah yang akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah Swt.

Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”. (Q.S. Al-Kahfi [18]: 7).

Firman Allah ini menguatkan penjelasan di atas bahwa hidup di dunia ini penuh dengan ujian. Allah Swt sengaja menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai ujian untuk menilai siapa-siapa yang terbaik amal perbuatannya selama hidup di dunia. Allah Swt menjadikan segala pernak-pernik kehidupan di dunia ini sebagai perhiasan sehingga menarik hati setiap orang. Ketika seseorang merasakan ketertarikan yang sangat tinggi terhadap keindahana isi dunia hingga terlenakan dan melupakan kehidupan akhirat, maka Allah Swt akan membalasnya dengan balasan yang setimpal. Sikap yang baik adalah menjalani kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya tanpa melupakan kehidupan akhirat, yaitu menjalani kehidupan di dunia dalam rangka mempersiapkan bekal hidup di akhirat. Dunia dan segala isinya adalah sementara, maka apapun yang kita miliki di dunia ini jika sewaktu-waktu hilang dari genggaman kita, maka kita harus ikhlas menerimanya. Semua hal yang awalnya kita anggap berharga dan penting ketika di dunia, bisa jadi menjadi hal yang tidak berharga dan tidak penting di akhirat. Hanya amal kebaikan dan ketundukkan serta keikhlasan kita dalam mengabdikan diri kepada Allah Swt yang menjadi bekal kita di kehidupan akhirat kelak.

Berkaitan dengan sifat dunia yang sementara dan fungsinya sebagai alat penguji bagi seluruh umat manusia, maka seyogyanya kita dalam menjalani kehidupan ini tidak perlu berlebih-lebihan. Allah Swt sangat membenci sifat berlebih-lebihan dan sifat berlebih-lebihan merupakan temannya syaitan. Konsep hidup terbaik adalah moderat atau wasathan atau sederhana. Konsep hidup sederhana tidak dimaknai sebagai hidup serba kekurangan atau hidup miskin. Hidup sederhana adalah hidup berkecukupan, tidak berlebih-lebihan, atau hidup sewajarnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sederhana bermakna: (1). bersahaja; tidak berlebih-lebihan; (2). sedang (dalam arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah, dan sebagainya); (3). tidak banyak seluk-beluknya (kesulitan dan sebagainya); tidak banyak pernik; lugas. (https://kbbi.web.id/sederhana)

Allah Swt memerintahkan umat-Nya untuk hidup tidak berlebih-lebihan sebagaimana termaktum dalam Al-Quran surat Al-A’raf [7]: 31.

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (Q.S. Al-A’raf [7]: 31).

Dengan menggunakan dasar KBBI di atas tampak bahwa istilah “tidak berlebih-lebihan” itu bermakna sama dengan “sederhana”, maka ayat ini dapat dipergunakan sebagai dalil bahwa Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk senantiasa hidup sederhana. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Swt menyukai orang-orang yang hidup sederhana. Pola hidup sederhana merupakan pola hidup yang dianjurkan oleh Allah Swt dan Allah Swt menyukainya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pola hidup sederhana merupakan ciri khas kehidupan umat Islam. Hidup sederhana adalah brand umat Islam. Umat Islam adalah umat yang menyukai hidup sederhana. Hal ini dicontohkan langsung oleh baginda Rasulullah Muhammad Saw, keluarganya, dan para sahabat-sahabatnya.

Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa ciri khas umat Islam adalah kehidupannya sederhana. Umat Islam adalah umat yang menyukai kesederhanaan. Kalimat ini mudah diucapkan tetapi sulit dibayangkan. Hidup sederhana yang dimaksudkan oleh ayat-ayat di atas seperti apa? Bagaimana deskripsi pola hidup sederhana? Adakah batasan untuk menentukan bahwa seseorang hidupnya telah sederhana? Bagaimana fakta di kehidupan nyata, apakah pola hidup sederhana benar-benar telah dipraktikkan oleh umat Islam?

Membahas tentang anjuran hidup sederhana memang tidak sesederhana kalau diucapkan. Dalil tentang anjuran hidup sederhana juga perlu dikaitkan dengan dalil tentang anjuran menampakkan rasa syukur atas karunia nikmat Allah Swt. Bagian syukur dari nikmat adalah dengan menampakkan nikmat tersebut secara lahiriyah. Bukan malah kita menjadi orang pelit dan pura-pura “kere” (miskin). Kalau memang Allah beri kelapangan rizki, nampakkanlah nikmat tersebut pada makanan dan pakaian kita (Tuasikal, 2011). Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman:

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan”. (Q.S. Adh-Dhuhaa [93]: 11).

Dari Abu Nadhroh, ia berkata,

“Dahulu kaum muslimin menganggap dinamakan mensyukuri nikmat adalah dengan seseorang menyiarkan (menampakkan) nikmat tersebut.” Diriwayatkan oleh Ath Thobari dalam kitab tafsirnya, Jaami’ Al Bayaan ‘an Ta’wili Ayyil Qur’an (24: 491). (Tuasikal, 2011).

Dua firman Allah Swt di atas sekilas seolah-olah saling bertentang satu dengan yang lain. Ayat pertama melarang hidup berlebih-lebihan, sedangkan ayat kedua justru memerintahkan menampakkan nikmat yang diterima. Hidup sederhana banyak dimaknai dengan hidup yang tidak berlebih-lebihan. Sehingga dalam praktik di kehidupan bermasyarakat, ada anggapan bahwa orang yang hidup sederhana adalah orang yang hidupnya tidak bermewah-mewahan, hidupnya tidak glamour, dan hidupnya tidak berfoya-foya. Sementara pemahaman terhadap ayat kedua bahwa Allah Swt memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menampakkan secara lahiriyah terhadap nikmat-nikmat Allah yang diterimanya. Berdasarkan dua ayat tersebut diatas, tampak bahwa kata “hidup sederhana” itu sulit dideskripsikan. Hidup sederhana bukanlah hidup layaknya orang miskin. Hidup sederhana bukanlah hidup tanpa berkecukupan. Hidup sederhana bukanlah hidup serba kekurangan. Dan hidup sederhana bukanlah hidup yang serba pelit.

Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hidup sederhana itu merupakan sebuah konsep tentang implementasi cara hidup yang tidak berlebih-lebihan dengan tetap menampakkan nimat-nikmat Allah Swt yang telah diterima. Merujuk pengertian ini, maka batasan tentang bagaimana hidup sederhana tidak terletak pada orang lain, melainkan pada diri sendiri. Seseorang tidak dapat menilai orang lain apakah telah menerapkan hidup sederhana atau hidup bermewah-mewahan karena ia pasti menggunakan standar hidupnya sendiri untuk menilai kehidupan orang lain. Batasan hidup sederhana ditentukan oleh masing-masing orang dimana antara orang satu dengan orang lain mungkin saja berbeda. Sebagai ilustrasi misalnya A adalah  orang yang berpenghasilan 10 juta perbulan, setiap hari ia pergi ke kantor mengendarai mobil dan makan di restoran. Sementara B adalah orang yang berpenghasilan 1 juta perbulan, setiap hari ia mengendarai sepeda motor dan makan di warung pinggir jalan. Apakah A dan B termasuk hidup sederhana atau berlebih-lebihan? Maka jawabannya adalah keduanya bisa termasuk menerapkan hidup  sederhana tapi juga bisa termasuk kategori hidup berlebih-lebihan. Mengapa? Karena bergantung pada parameter yang digunakan untuk menilai. A bisa saja menilai B hidupnya terlalu pelit karena makannya memilih di warung pinggir jalan yang murah, sedangkan B bisa saja menilai A hidup berlebih-lebihan karena makannya selalu di restoran mahal (menurut ukuran dia). Tetapi baik A maupun B bisa juga dikategorikan sebagai hidup berlebih-lebihan menurut pandangan C yang kerjanya sebagai buruh serabutan dengan penghasilan kecil dan tidak menentu. Bagi C, baik makan di warung kecil di pinggir jalan maupun di restoran mahal sama-sama pemborosan dan menghambur-hamburkan uang. Bagi si C, kalau seandainya A dan B membawa bekal makan dari rumah, maka uangnya dapat dihemat.

Demikianlah setiap orang memiliki parameter dan sudut pandang tersendiri untuk mengkategorikan hidup sederhana atau berlebih-lebihan. Maka sikap yang bijaksana adalah janganlah kita menilai gaya hidup orang lain. Janganlah kita ngrusuhi hidup orang lain.  Setiap orang memiliki pola kehidupan dan gaya hidup yang berbeda-beda menyesuaikan lingkungannya. Gaya hidup orang yang berada di lingkungan kerja perkantoran akan berbeda dengan gaya hidup orang yang berada di lingkungan buruh. Kita harus menyadari bahwa setiap orang memiliki jenis kebutuhan dan skala prioritas yang berbeda-beda. Mungkin ada orang yang setiap hari baru mampu memenuhi kebutuhan pokok saja, misalnya kebutuhan makan, itupun masih kerepotan., tetapi ada pula orang yang sudah melampaui kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok, ia bahkan mampu memenuhi kebutuhan sekunder dan mungkin tersier. Maka gaya hidup dan skala prioritas kebutuhan hidup mereka pastilah berbeda.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat kita ambil pelajaran hidup bahwa janganlah suka menilai kehidupan orang lain karena kita tidak mengetahui bagaimana tuntutan dan prioritas kebutuhan hidup orang lain. Ingatlah peribahasa “janganlah menilai ukuran sepatu orang lain dengan ukuran kaki kita”, yang maksudnya adalah janganlah menilai kehidupan orang lain dengan standar kehidupan kita. Seseorang dikategorikan hidup sederhana atau tidak bergantung parameter hidup yang digunakan. Kita sendirilah yang paling tahu apakah gaya hidup kita  selama ini masuk kategori sederhana, berlebih-lebihan atau masih wajar-wajar saja. Semuanya kembali ke masing-masing orang. Tetapi yang terpenting, dalam menjalani kehidupan ini untuk urusan duniawi lihatlah orang lain yang lebih rendah dari kita sehingga akan muncul rasa syukur kepada Allah Swt atas karunia nikmat-nikmat-Nya.

Syukur merupakan intisari dalam menjalani kehidupan dunia ini. Syukur merupakan indikator atau parameter derajat ketakwaan seseorang. Syukur merupakan manifestasi dari peribadahan kita. Orang yang bertakwa akan selalu mensyukuri nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan Allah Swt. Allah Swt telah menjanjikan bahwa bagi hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-nikmat-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya berikut.  

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim [14]: 7).

Hidup sederhana memang mudah diucapkan secara lisan tetapi sulit dideskripsikan, apalagi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimanakah gambaran hidup sederhana yang benar sebagaimana yang dituntunkan agama, hanya Allah Swt sajalah yang Mahamengetahui. Demikian pembahasan tentang hidup sederhana menurut tuntutan agama ini penulis sampaikan. Semoga bermanfaat. Amin. []

 

Referensi :

Kamus Besar Bahasa Indonesia online. Tersedia online di https://kbbi.web.id

Tuasikal, M.A. (2011). Tampakkanlah nimat Allah. Tersedia online di https://rumaysho.com/2027-tampakkanlah-nikmat-allah.html. Diakses tanggal 02 Maret 2020.


__________________________________________

*Agung Nugroho Catur Saputro. Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Peraih juara 1 Nasional lomba penulisan buku pelajaran Kimia SMA/MA di Kementerian Agama RI. Penulis Buku Nonfiksi tersertifikasi BNSP yang telah menerbitkan 100+ judul buku dan memiliki 38 sertifikat hak cipta dari Kemenkumham RI. Beliau dapat dihubungi melalui nomor WhatsApp: 081329023054, email: anc_saputro@yahoo.co.id, dan website: https://sharing-literasi.blogspot.com.

Tidak ada komentar:

Postingan Populer