Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Januari 2024

KITAB FIQH KARYA ULAMA WANITA

 



KITAB FIQH KARYA ULAMA WANITA

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Agama Islam diturunkan Allah Swt ke dunia ini melalui Rasul-Nya bertujuan untuk memberikan rambu-rambu aturan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan. Aturan atau hukum-hukum agama tidak hanya mengatur kehidupan laki-laki tetapi juga mengatur kehidupan wanita. Wanita merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki keistimewaan yang berbeda dengan kaum laki-laki. Hanya kaum wanita saja yang bisa memahami jalan pikiran dan perilaku para wanita. Apa yang terjadi atau dialami oleh kaum wanita tidak dialami oleh kaum laki-laki. Maka wanitalah yang paling tahu dan paling paham dengan diri mereka sendiri dan kaumnya.

 

Hukum agama Islam itu terbagi menjadi dua, yaitu hukum yang secara jelas dinyatakan oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hukum yang dirumuskan (hasil ijtihad) ulama untuk menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak jelas maknanya. Ijtihad adalah proses penetapan hukum syariat dengan menggunakan semua pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh. Proses ijtihad bertujuan menciptakan solusi dalam pertanyaan hukum yang belum dijelaskan di dalam Al-Quran dan hadis. Karenanya, hanya para ulama yang dapapt berijtihad terkait hukum Islam. Ijtihad memiliki banyak manfaat seperti membantu umat Islam saat menghadapi masalah yang belum jelas hukumnya. Ini agar hukum tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan, waktu, serta perkembangan zaman. Selain itu ijtihad dapat digunakan untuk menentukan dan menetapkan fatwa atas segala masalah yang tidak berhubungan dengan halal dan haram (Wisnu, 2022). Hukum-hukum agama Islam hasil ijtihad para ulama inilah yang kemudian dikenal sebagai ilmu Fiqh. Jadi ilmu Fiqh adalah ilmu buatan manusia (ulama) yang mencoba memahami/menafsirkan ayat-ayat Allah SWT yang belum jelas maksudnya.

 

Dikarenakan hukum agama baik yang berupa hukum asli dari Allah SWT maupun hukum hasil ijtihat ulama bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia, maka tentunya juga mengatur tentang perikehidupan wanita. Ilmu Fiqh yang dihasilkan oleh para ulama umumnya ditulis oleh ulama laki-laki. Masih jarang atau sedikit sekali ditemukan kitab ilmu Fiqh yang ditulis oleh ulama wanita. Hal ini berdampak pada pandangan subjektivitas ulama laki-laki ketika mereka berijtihat menentukan aturan agama atau hukum yang berkaitan dengan kaum wanita.

 

Sebagai contoh pandangan Fiqh yang menyatakan bahwa wanita adalah aurat, bahkan suaranya pun juga aurat yang tidak boleh diperdengarkan kepada para laki-laki. Kaum wanita dianggap sumber fitnah, maka mereka harus memakai pakaian hijab agar aurat mereka tidak menganggu kaum laki-laki. Ternyata perintah agar wanita menutup aurat dengan pakaian tertutup (hijab) tidak diiringi dengan perintah agar laki-laki menundukkan pandangan matanya. Seharusnya perintah wanita memakai pakaian hijab dan laki-laki menundukkan pandangan adalah satu paket (satu kesatuan) karena kedua belah pihak bisa menjadi penyebab terjadinya perzinahan. Tetapi mengapa tidak demikian?

 

Pandangan bahwa wanita adalah aurat dan sumber fitnah adalah produk dari penafsiran ulama laki-laki. Pandangan seperti ini jelas sangat subjektif dan tidak imbang karena hanya mendasarkan pada satu pandangan saja yaitu dari sisi pandangan laki-laki. Pandangan sepihak tersebut hanya menguntungkan satu pihak, yaitu laki-laki, sedangkan pihak wanita dirugikan. Mengapa aturan agama berkaitan dengan pencegahan tindak asusila (perzinahan) hanya dikaitkan dengan wanita sebagai pihak tertuduh penyebab terjadinya perzinahan? Mengapa laki-laki seakan-akan tidak bisa terlibat sebagai aktor penyebab terjadinya perzinahan? Mestinya hukum Fiqh mengatur tentang bagaimana wanita harus berperilaku (berpakaian) agar tidak mengundang fitnah dan bagaimana upaya laki-laki agar tidak terjerumus ke tindakan perzinahan. Seharusnya hukum Fiqh produk hasil ijtihad ulama bersifat adil dalam menentukan aturan hukumnya, bukan hanya menyalahkan satu pihak saja yaitu wanita. Hal itu kemungkian besar karena mayoritas ulama penulis kitab-kitab Fiqh adalah ulama laki-laki sehingga subjektivitas penghukuman terjadi. Maka ke depannya perlu ada evaluasi ulang agar penetapan hukum agama benar-benar bisa berlaku adil dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan.

 

Fenomena adanya produk hukum agama hasil ijtihad ulama yang cenderung menguntungkan pihak laki-laki tersebut dapat terjadi kemungkian besar dikarenakan para ulama penulis kitab-kitab ilmu Fiqh adalah mayoritas laki-laki. Andaikan ada ulama wanita yang juga menulis kitab ilmu Fiqh, mungkin hukum atau aturan agama yang diyakini umat Islam berbeda dengan pandangan sekarang ini. Berdasarkan kasus hukum di atas, maka menurut pandangan penulis, saat ini sangat urgen munculnya kitab-kitab ilmu Fiqh yang ditulis oleh para ulama wanita. Kaum wanita dalam agama Islam memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu agama dan demikian pula harusnya hak dalam menafsirkan ayat-ayat Allah SWT menjadi produk hukum agama dalam kitab Fiqh.

 

Mengapa sejarah Islam zaman dulu jarang menyebutkan nama-nama ulama wanita? Hal itu kemungkian besar memang zaman dulu tidak banyak wanita yang menjadi ulama. Bisa jadi hal itu disebabkan pengaruh dari tradisi atau budaya bangsa Arab pra-Islam yang berpandangan bahwa wanita itu derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Akibatnya kaum wanita tidak diberi hak dan kesempatan yang sama untuk belajar dan menuntut ilmu agama. Hal yang berbeda dialami oleh para kaum laki-laki yang memperoleh hak yang sebebas-bebasnya untuk belajar ilmu agama dan menuliskannya dalam bentuk produk kitab ilmu agama, khususnya kitab ilmu Fiqh.

 

Sebenarnya sejarah telah mencatatkan bahwa zaman dahulu sudah ada ulama wanita yang terlibat dalam penyiaran dakwah Islam. Di masa sahabat, ada nama ummul mukminin sayyidah Aisyah binti Abu Bakar yang menjadi salah satu referensi umat pasca wafatnya Nabi SAW. Beliau adalah seorang ahli fikih sekaligus ahli hadis dari kalangan wanita yang mendapat bimbingan langsung dari Nabi Muhammad saw. Kepakarannya di bidang fikih dan fatwa membuat nama beliau dimasukkan dalam kategori sahabat yang banyak memberikan fatwa; al-muksirun fi al-fatwa. Pada abad kedua, ada nama Sayyidah Nafisah binti Hasan, salah satu cucu rasulullah saw yang dijuluki nafisah al-ilmi karena kedalaman ilmunya. Banyak ulama yang menimba ilmu dan meriwayatkan hadis dari beliau. Salah satunya adalah Bisyr bin Harist al-Hafi. Bahkan ulama besar sekaliber Imam Syafi’i juga dikenal sebagai murid dari Sayyidah Nafisah. Saking seringnya beliau ngaji, para ulama menobatkan imam Syafi’i sebagai orang yang paling sering mujalasah dengan sayyidah Nafisah. Oleh karena itu, wajar jika Sayyidah Nafisah disebut-sebut sebagai sosok yang banyak mempengaruhi pemikiran imam Syafi’i di Mesir (Isdianto, 2021).

 

Tetapi mengapa nama-nama ulama wanita hampir tidak dikenal dalam khazanah ilmu agama Islam? Apakah karena jumlahnya sangat sedikit-walau ada, ataukah karena mereka para ulama wanita tidak menulis kitab-kitab ilmu agama sehingga sejarah tidak mencatatkan nama-nama mereka? Jika melihat fakta sejarah bahwa memang ada beberapa ulama wanita yang terlibat dalam syiar dakwah agama Islam, dan bahkan di antara mereka ada yang menjadi guru dari ulama-ulama besar yang dikenal masyarakat zaman sekarang, sementara sejarah juga tidak banyak yang menceritakan keberadaan dan kiprah para ulama wanita dalam menghasilkan produk-produk pemikiran terkait penetapan hukum agama, maka penulis berpendapat bahwa akar penyebab mengapa dunia Islam kurang mengenal ulama wanita dikarenakan hampir tidak ditemukan kitab ilmu agama yang merupakan karangan para ulama wanita.

 

Dunia Islam sekarang tidak atau hampir jarang sekali menemukan kitab-kitab ilmu agama Islam, khususnya kitab ilmu Fiqh yang merupakan hasil dari karangan ulama wanita. Hal ini mengakibatkan munculnya anggapan bahwa sejak dulu tidak ada ulama wanita. Hukum-hukum agama Islam yang ada di kitab-kitab ilmu Fiqh hanya ditulis oleh para ulama laki-laki, sedangkan hasil pemikiran dan penafsiran (ijtihad) para ulama wanita tidak terdokumentasi dalam bentuk kitab yang berakibat hasil pemikiran mereka tidak sampai ke generasi-generasi berikutnya dan hingga generasi sekarang.

 

Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan peran wanita dalam perumusan hukum-hukum agama Islam adalah mengapa jumlah ulama wanita jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah ulama laki-laki? Jika benar bahwa ulama terdahulu tak pernah membedakan antara laki-laki dan wanita dalam soal keilmuan (Isdianto, 2021), tetapi mengapa dalam dunia keilmuan Islam hampir tidak mengenal sosok-sosok ulama wanita? Melihat fenomena ini, penulis berpendapat bahwa walaupun agama Islam tidak membeda-bedakan antara wanita dan laki-laki dalam menuntut ilmu agama, tetapi pengaruh budaya dan tradisi bangsa Arab pra-Islam yang memandang rendah derajat wanita bahkan ada anggapan jika memiliki anak wanita dianggap sebuah kesialan, masih sangat kuat mempengaruhi pola kehidupan umat Islam zaman dulu sehingga berdampak pada masih sedikit sekali wanita-wanita yang menuntut ilmu agam secara serius dan tekun hingga menjadi ulama besar.

 

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa akar permasalahan mengapa dunia keilmuan Islam hampir tidak mengenal keberadaan ulama wanita yang berdampak pada produk hukum agama yang mayoritas didominasi oleh hasil ijtihad ulama laki-laki adalah karena masih kuatnya pengaruh budaya Arab pra-Islam yang memandang derajat wanita lebih rendah dari laki-laki sehingga membatasi para wanita untuk belajar ilmu agama dan menjadi ulama. Penyebab kedua mengapa kurang dikenalnya ulama wanita dalam khazanah keilmuan agama Islam adalah karena para ulama wanita tidak atau hampir tidak meninggalkan karya-karya tulis produk hukum agama Islam yang merupakan hasil ijtihad mereka dalam bentuk kitab-kitab hukum Islam. []

 

Surakarta, 31 Januari 2023

 

Referensi

Isdianto, W. (2021, April 7). Ulama Perempuan. Swara Rahima. https://swararahima.com/2021/04/07/ulama-perempuan/

Wisnu. (2022, July 20). Pengertian Ijtihad Menurut Bahasa serta Fungsi dan Contoh. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/humaniora/508237/pengertian-ijtihad-menurut-bahasa-serta-fungsi-dan-contoh

 


Kamis, 21 Desember 2023

KEMULIAAN SEORANG IBU DI HADAPAN ALLAH SWT

 


KEMULIAAN SEORANG IBU DI HADAPAN ALLAH SWT

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

 

Setiap tanggal 22 Desember bangsa Indonesia memperingati Hari Ibu. Ibu kedudukannya dimuliakan dan dihormati sehingga sampai diperingati secara khusus dengan ditetapkannya tanggal 2 Desember sebagai Hari Ibu. Dalam agama Islam pun kedudukan ibu juga dimuliakan, bahkan melebihi kedudukan ayah. Ibu yang pada dasarnya adalah perempuan memiliki kedudukan yang sangat tinggi (mulia) dalam pandangan agama (Allah) maupun dalam pandangan negara (pemerintah). Tetapi ternyata kedudukan yang mulia tersebut tidak serta merta juga dimiliki oleh perempuan yang bukan ibu. Mengapa kedudukan perempuan yang menjadi ibu dan perempuan yang bukan ibu dibedakan? Faktor istimewa apa yang membuat perempuan ibu memperoleh kedudukan yang mulia?

 

Seorang ibu memang juga seorang perempuan. Tetapi seorang perempuan belum tentu seorang ibu. Berarti ada faktor yang membedakan antara perempuan dan ibu. Faktor apakah itu? Menurut pandangan penulis, kedudukan mulia seorang ibu bukan disebabkan oleh karena ia seorang perempuan, melainkan karena peranannya. Hal itu dikarenakan tidak semua perempuan mendapatkan keistimewaan seperti yang diperoleh oleh seorang ibu. Hanya perempuan yang menjadi ibu saja yang memperoleh kedudukan mulia tersebut. Seorang perempuan ketika menjadi ibu (yang artinya telah melahirkan anak dan memeliharanya) ia akan mendapatkan posisi yang mulia di hadapan Allah SWT. Kedudukan atau status mulia tersebut tidak didapatkan oleh perempuan lain yang belum menjadi ibu. Tetapi apakah semua perempuan yang telah melahirkan anak (yang kemudian mendapat status sebagai ibu) otomatis akan mendapatkan kemuliaan tersebut?

 

Menurut pendapat penulis, tidak semua perempuan yang melahirkan anak akan otomatis mendapat kemuliaan di hadapan Allah Swt. Hanya perempuan yang melahirkan anak dan merawat serta mendidiknya menjadi seorang anak yang baik, berakhlak mulia, dan taat beribadah pada Tuhannya yang akan mendapatkan kemuliaan. Sedangkan perempuan yang telah melahirkan anak tetapi ia tidak merawat dengan baik atau bahkan menelantarkan anaknya tidak akan mendapatkan status mulia di hadapan Allah Swt. Status mulia di hadapan Allah Swt didapatkan perempuan bukan hanya Karena ia melahirkan anak, tetapi lebih karena perjuangannya untuk merawat dan membesarkan anaknya dengan penuh curahan kasih sayang sebagai wujud perpanjangan kasih sayang dari Tuhannya karena anak adalah amanah yang tiada ternilai dari sang Maha Penyayang.

 

Beratnya tugas kodrati seorang perempuan yang mengandung tidaklah dipandang sebelah mata oleh Allah SWT. Pengorbanan perempuan saat mengandung tetap dihargai oleh Allah SWT dan akan mendapatkan balasan kebaikan yang berlipat. Sebagai bukti betapa Allah SWT sangat menghargai pengorbanan perempuan yang mengandung adalah adanya hadis yang menyatakan bahwa surga anak di bawah telapak kaki ibu. “Surga di bawah telapak kaki ibu. Siapa yang dikehendaki (diridhai) para ibu, mereka bisa memasukkannya (ke surga); siapa yang dikehendaki (tidak diridhai), mereka bisa mengeluarkannya (dari surga)” (HR. Imam Ahmad, Ibnu Majah, Al-Tirmidzi, Al-Nasai, dan Al-Hakim). Menurut sebagian ulama, maksud dari “surga di bawah telapak kaki ibu” adalah sebagai kiasan karena kita sebagai anak wajib menaati dan berbakti kepada ibu [2,3]. Cara berbakti kepada ibu adalah dengan menghormati, menghargai, dan mendahulukan kepentingannya. Surga di bawah telapak kaki ibu adalah sebagai bentuk kepatuhan dan bakti kepadanya[1]. Menurut ulama lain, maksud hadits ini adalah bahwa patuh dan ridhanya seorang anak kepada ibunya menjadi penyebab masuknya ia ke dalam surga. Sebaliknya, jika seorang anak tidak berbakti kepada ibunya, ia bisa terancam keluar dari surga[2].

 

Juga hadis yang menyatakan bahwa jika ada seorang perempuan yang mengandung dan melahirkan, dan kemudian ia meninggal saat proses melahirkan tersebut, maka ia akan mendapatkan pahala kebaikan seperti halnya seseorang yang mati syahid. Nabi SAW bersabda, “Kesyahidan itu ada tujuh, selain gugur dalam perang, orang yang mati karena keracunan, tenggelam da lam air, terserang virus, terkena lepra, terbakar api, tertimbun bangunan dan perempuan yang meninggal karena melahirkan." (HR Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Hibban). Jadi perempuan yang meninggal karena melahirkan, maka ia mendapatkan kedudukan mulia seperti  seorang yang mati syahid. Di dalam syarah yang ditulis Ibn Hajar al-Asqalani, dijelaskan bahwa ada dua macam kesyahidan yakni syahid dunia akhirat dan syahid akhirat. Terbunuh dalam perang masuk dalam syahid pertama. Sementara itu, perempuan yang syahid seusai melahirkan merupakan syahid akhirat. Karena itu, jenazah sang ibu diperlakukan seperti umumnya orang me ning gal. Dia mesti dimandikan, dikafani, dan dishalati [4]. Lantas, bagaimana dengan para perempuan yang melahirkan dengan selamat? Tentunya mereka juga pasti akan mendapatkan balasan kebaikan yang berlimpah dari Allah SWT. Tidak ada pengorbanan baik yang sia-sia, semuanya akan mendapatkan balasan kebaikan berlipat ganda dari Allah SWT.

 

Kebaikan yang diperoleh perempuan yang melahirkan dengan selamat adalah salah satunya berupa rasa bahagia yang tiada tara ketika melihat anak yang dikandungnya selama sembilan bulan lebih di dalam perutnya. Kebahagian yang dirasakan oleh perempuan yang melahirkan anak tidak akan pernah bisa dirasakan oleh laki-laki. Kebahagiaan jenis inilah yang membuat mengapa perempuan yang melahirkan bahkan rela mengorbankan nyawanya sendiri demi menyelamatkan anaknya yang akan lahir. Para perempuan yang melahirkan anak, mereka tidak takut mati saat proses melahirkan bagaikan seorang mujahid yang siap mati syahid di medan perang demi dapat melahirkan anaknya dengan selamat. Bagi mereka, anaknya dapat terlahir dengan selamat merupakan kebahagiaan yang tiada tara yang tidak dapat tergantikan oleh apapun.

 

Perempuan selalu diidentikan dengan kelembutan, cinta, dan kasih sayang. Bayi yang baru dilahirkan akan sangat membutuhkan sentuhan lembut, hangat, limpahan cinta dan kasih sayang. Kasih sayang yang diberikan oleh seorang ibu dapat diibaratkan seperti kelanjutan dari cinta dan kasih sayang Allah Swt kepada hamba-Nya. Allah Swt sangat mencintai dan menyayangi hamba-hamba-Nya yang juga sangat mencintai dan menyayangi sesama manusia. Jadi fondasi dasar kehidupan adalah rasa cinta dan kasih sayang. Tanpa ada rasa cinta dan kasih sayang, maka keberlanjutan kehidupan ini akan terganggu. Oleh karena itu, setiap orang yang menyebarkan rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama manusia dan makhluk lainnya akan dicintai dan disayangi oleh Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang.

 

Dalam kehidupan ini, apa yang akan diharapkan oleh setiap insan yang terlahir ke dunia selain rasa aman, tenteram, damai, dan sejahtera? Semua rasa tersebut akan terwujud manakala seseorang berada dalam lingkungan kehidupan orang-orang yang memiliki rasa cinta dan kasih sayang. Orang yang di hatinya tidak memiliki rasa cinta dan kasih sayang mustahil akan mampu mencintai dan menyayangi orang lain dengan sepenuh hati. Seseorang dapat mencintai (= memberikan cinta) orang lain hanya jika ia memiliki rasa cinta dalam hatinya. Seseorang akan dapat mengasihi dan menyayangi (= memberikan kasih dan sayangnya) orang lain hanya jika ia memiliki rasa kasih dan sayang dalam hatinya.

 

Berkaitan dengan sosok seorang ibu, maka hal yang serupa juga berlaku. Seorang perempuan yang melahirkan anak, jika ia tidak memiliki rasa cinta dan kasih sayang kepada anaknya, maka mana mungkin ia akan mencintai dan menyayangi anaknya? Jika ia tidak mencintai dan menyayangi anaknya, maka mustahil ia akan merawat anaknya dengan baik dan mendidik anak dengan sistem pendidikan yang baik dan sesuai jalan yang diridhai Allah Swt. Hanya perempuan yang memiliki rasa cinta dan kasih sayang saja yang akan mampu memberikan rasa cinta dan kasih sayangnya kepada anaknya melalui proses perawatan dan pendidikan yang baik dan dalam balutan rasa cinta dan kasih sayang.

 

Berdasarkan alur pemikiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua perempuan akan mendapatkan status yang mulia di hadapan Allah Swt. Status mulia hanya akan didapatkan oleh para perempuan yang menjadi ibu. Seorang ibu bukan hanya sekadar perempuan yang melahirkan anak, tetapi perempuan yang melahirkan anak dan merawatnya dengan limpahan rasa cinta dan kasih sayang serta mendidiknya dengan sistem pendidikan terbaik agar kelak anaknya dapat menjadi sosok manusia yang baik, berakhlak mulia, bermanfaat bagi sesama, dan taat beribadah kepada Tuhannya.

 

Dalam proses merawat dan mendidik anak-anaknya, para ibu perlu menyediakan lingkungan pendidikan yang baik dan kondusif untuk anak-anaknya. Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya. Maka seorang ibu harus mampu memberikan pendidikan pertama bagi anak-anaknya melalui pemberian limpahan rasa cinta dan kasih sayang, menyadarkan anak akan kemampuan dan bakat minatnya, memberikan keteladanan dalam bersikap, berperilaku, dan bertutur kata yang baik, serta menanamkan keimanan di hati anak-anaknya agar mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang tangguh, kompeten, dan berakhlak mulia. []

 

Surakarta, 11 Desember 2023

 

Referensi

[1] Hadist Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu, Ini Penjelasan Maknanya. https://kumparan.com/berita-hari-ini/hadist-surga-di-bawah-telapak-kaki-ibu-ini-penjelasan-maknanya-1wZU7KrXtha.

[2] Surga Ada di Telapak Kaki Ibu, Ini Maknanya dalam Islam. https://www.liputan6.com/hot/read/5231791/surga-ada-di-telapak-kaki-ibu-ini-maknanya-dalam-islam.

[3] Surga di bawah Telapak Kaki Ibu, Benarkah Ada Haditsnya? – detikcom. https://www.detik.com/hikmah/doa-dan-hadits/d-6343737/surga-di-bawah-telapak-kaki-ibu-benarkah-ada-haditsnya.

[4] Syahidnya Ibu yang Melahirkan. https://www.republika.id/posts/41367/syahidnya-ibu-yang-melahirkan.

 

__________________________________________

*Agung Nugroho Catur Saputro adalah Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Peraih juara 1 Nasional lomba penulisan buku pelajaran Kimia SMA/MA di Kementerian Agama RI. Penulis Buku Nonfiksi tersertifikasi BNSP yang telah menerbitkan 100+ judul buku dan memiliki 38 sertifikat hak cipta dari Kemenkumham RI. Beliau dapat dihubungi melalui nomor WhatsApp: 081329023054, email: anc_saputro@yahoo.co.id, dan website: https://sharing-literasi.blogspot.com.

Minggu, 10 Desember 2023

PAPI KOK GAK BANGUNKAN ADIK?

 


PAPI KOK GAK BANGUNKAN ADIK?

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro




Sebelum sekolah TK, putri kecil kami memang sudah kami kenalkan tentang shalat dengan mengajaknya ikut shalat. Untuk memotivasinya, kami membelikan dia mukena dan sajadah khusus berwarna pink sesuai warna kesukaannya. 


Sejak mempunyai mukena dan sajadah sendiri, putri kecil kami menjadi lebih termotivasi untuk ikut shalat fardhu dan sunnah. Ia merasa sudah seperti papi mami dan kakaknya yang memiliki sajadah sendiri. Walaupun terkadang mogok sholat, tetapi ia lebih banyak rajin sholatnya daripada mogoknya. Setiap selesai shalat, dia melipat sendiri mukenanya meniru yang dilakukan maminya. 


Ketika masuk sekolah TK, di sekolah ia mendapat pelajaran shalat. Suatu waktu ustadzahnya (gurunya) pernah bertanya siapa yang di rumah sudah shalat? Sejak gurunya bertanya seperti itu, putri kecil kami menjadi lebih termotivasi mengerjakan shalat. Dia selalu bertanya tentang waktu yang maksudnya adalah sekarang masuk waktu shalat apa. Setiap kali kami bilang "Adik wudhu', maka ia dengan semangatnya masuk ke kamar mandi untuk berwudhu. 


Suatu waktu, di hari libur, mungkin karena siangnya belum tidur siang (biasanya di sekolah dikondisikan tidur siang), sore menjelang Maghrib dia tertidur dengan pulasnya. Karena terlihat sangat pulas tidurnya, kami tidak membangunkannya ketika masuk shalat Maghrib. 


Ketika waktu Isyak telah masuk, dia terbangun. Maka kami meminta dia untuk berwudhu. Ketika mau shalat, dia bertanya, "Papi, sekarang shalat Maghrib?". Saya jawab, "Sekarang shalat Isyak, ini sudah malam. Tadi adik tidur waktu shalat Maghrib". Mendengar jawaban papinya, dia membalas, "Papi kok gak bangunin adik?" sambil matanya meneteskan air mata mau menangis. Segera saya peluk putri kecil kami tersebut, dan berkata, "Ya, papi minta maaf. Lain kali papi bangunkan adik". Setelah mendengar perkataan papinya, barulah ia tenang dan tidak menangis lagi. 


Kami bersyukur sekali, putri kecil kami telah memiliki kedisiplinan yang tinggi dalam mengerjakan shalat fardhu. Selain mengajarkan shalat fardhu, kami juga mengajari dia shalat sunnah rawatib. Misalnya, setelah shalat Maghrib, berdzikir (kami membelikannya tasbih sendiri), dan berdoa, dia sering bertanya, "Shalat berapa lagi?' Kami jawab, "Shalat Sunnah dua rakaat", maka ia pun mengerjakan shalat Sunnah bakda Maghrib sebanyak dua rakaat. 


Setelah selesai mengerjakan shalat sunnah bakda Maghrib, barulah kami semua membaca Al-Qur'an bersama-sama. Kami sengaja membelikan dia mushaf Al-Qur'an sendiri sehingga dia merasa memiliki Al-Qur'an sendiri. Dia menandai sendiri sampai ayat dan halaman berapa ia membaca Al-Qur'an. Ketika bersama-sama membaca Al-Qur'an, dia yang paling keras suaranya. Alhamdulillah ya Allah, putri kecil kami telah tumbuh menjadi anak yang shalihah. []


Gumpang Baru, 10 Desember 2023

Senin, 30 Oktober 2023

HIDUP SEDERHANA SESUAI TUNTUNAN AGAMA, MUDAHKAH?


Sumber Gambar: https://www.finansialku.com/hidup-sederhana/


HIDUP SEDERHANA SESUAI TUNTUNAN AGAMA, MUDAHKAH?

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro




Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah kehidupan dan bagaimana kehidupan dijalani. Hidup menurut Islam bukanlah sekadar memenuhi semua kebutuhan jasmani dan rohani. Hidup menurut Islam lebih dari itu semua, orang hidup selain dituntut memenuhi hak dan kebutuhan dirinya juga dituntut untuk memenuhi kewajibannya terhadap Tuhannya. Maka dalam menjalani kehidupan ini, setiap orang Islam seharusnya mengadopsi rambu-rambu atau panduan bagaimana Islam mengatur kehidupan.


Dalam Al-Quran surat An-Nahl [16]: 96 Allah Swt berfirman:

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. dan Sesungguhnya kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S. An-Nahl [16]: 96).

Ayat ini memberitahukan bahwa kehidupan di dunia ini adalah bersifat sementara, sedangkan kehidupan akhirat itu adalah kekal. Karena kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, maka semua yang kita miliki juga bersifat sementara atau suatu saat akan hilang atau kita tinggalkan. Sedangkan kehidupan akhirat itu kekal, maka sudah sepantasnyalah kalau kita selama hidup di dunia ini sambil mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat. Selama menjalani kehidupan di dunia ini, kita harus selalu sabar dalam menghadapi segala masalah dan ujian kehidupan karena kehidupan di dunia memang penuh ujian. Hanya orang-orang yang sabar sajalah yang akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah Swt.

Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”. (Q.S. Al-Kahfi [18]: 7).

Firman Allah ini menguatkan penjelasan di atas bahwa hidup di dunia ini penuh dengan ujian. Allah Swt sengaja menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai ujian untuk menilai siapa-siapa yang terbaik amal perbuatannya selama hidup di dunia. Allah Swt menjadikan segala pernak-pernik kehidupan di dunia ini sebagai perhiasan sehingga menarik hati setiap orang. Ketika seseorang merasakan ketertarikan yang sangat tinggi terhadap keindahana isi dunia hingga terlenakan dan melupakan kehidupan akhirat, maka Allah Swt akan membalasnya dengan balasan yang setimpal. Sikap yang baik adalah menjalani kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya tanpa melupakan kehidupan akhirat, yaitu menjalani kehidupan di dunia dalam rangka mempersiapkan bekal hidup di akhirat. Dunia dan segala isinya adalah sementara, maka apapun yang kita miliki di dunia ini jika sewaktu-waktu hilang dari genggaman kita, maka kita harus ikhlas menerimanya. Semua hal yang awalnya kita anggap berharga dan penting ketika di dunia, bisa jadi menjadi hal yang tidak berharga dan tidak penting di akhirat. Hanya amal kebaikan dan ketundukkan serta keikhlasan kita dalam mengabdikan diri kepada Allah Swt yang menjadi bekal kita di kehidupan akhirat kelak.

Berkaitan dengan sifat dunia yang sementara dan fungsinya sebagai alat penguji bagi seluruh umat manusia, maka seyogyanya kita dalam menjalani kehidupan ini tidak perlu berlebih-lebihan. Allah Swt sangat membenci sifat berlebih-lebihan dan sifat berlebih-lebihan merupakan temannya syaitan. Konsep hidup terbaik adalah moderat atau wasathan atau sederhana. Konsep hidup sederhana tidak dimaknai sebagai hidup serba kekurangan atau hidup miskin. Hidup sederhana adalah hidup berkecukupan, tidak berlebih-lebihan, atau hidup sewajarnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sederhana bermakna: (1). bersahaja; tidak berlebih-lebihan; (2). sedang (dalam arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah, dan sebagainya); (3). tidak banyak seluk-beluknya (kesulitan dan sebagainya); tidak banyak pernik; lugas. (https://kbbi.web.id/sederhana)

Allah Swt memerintahkan umat-Nya untuk hidup tidak berlebih-lebihan sebagaimana termaktum dalam Al-Quran surat Al-A’raf [7]: 31.

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (Q.S. Al-A’raf [7]: 31).

Dengan menggunakan dasar KBBI di atas tampak bahwa istilah “tidak berlebih-lebihan” itu bermakna sama dengan “sederhana”, maka ayat ini dapat dipergunakan sebagai dalil bahwa Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk senantiasa hidup sederhana. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Swt menyukai orang-orang yang hidup sederhana. Pola hidup sederhana merupakan pola hidup yang dianjurkan oleh Allah Swt dan Allah Swt menyukainya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pola hidup sederhana merupakan ciri khas kehidupan umat Islam. Hidup sederhana adalah brand umat Islam. Umat Islam adalah umat yang menyukai hidup sederhana. Hal ini dicontohkan langsung oleh baginda Rasulullah Muhammad Saw, keluarganya, dan para sahabat-sahabatnya.

Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa ciri khas umat Islam adalah kehidupannya sederhana. Umat Islam adalah umat yang menyukai kesederhanaan. Kalimat ini mudah diucapkan tetapi sulit dibayangkan. Hidup sederhana yang dimaksudkan oleh ayat-ayat di atas seperti apa? Bagaimana deskripsi pola hidup sederhana? Adakah batasan untuk menentukan bahwa seseorang hidupnya telah sederhana? Bagaimana fakta di kehidupan nyata, apakah pola hidup sederhana benar-benar telah dipraktikkan oleh umat Islam?

Membahas tentang anjuran hidup sederhana memang tidak sesederhana kalau diucapkan. Dalil tentang anjuran hidup sederhana juga perlu dikaitkan dengan dalil tentang anjuran menampakkan rasa syukur atas karunia nikmat Allah Swt. Bagian syukur dari nikmat adalah dengan menampakkan nikmat tersebut secara lahiriyah. Bukan malah kita menjadi orang pelit dan pura-pura “kere” (miskin). Kalau memang Allah beri kelapangan rizki, nampakkanlah nikmat tersebut pada makanan dan pakaian kita (Tuasikal, 2011). Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman:

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan”. (Q.S. Adh-Dhuhaa [93]: 11).

Dari Abu Nadhroh, ia berkata,

“Dahulu kaum muslimin menganggap dinamakan mensyukuri nikmat adalah dengan seseorang menyiarkan (menampakkan) nikmat tersebut.” Diriwayatkan oleh Ath Thobari dalam kitab tafsirnya, Jaami’ Al Bayaan ‘an Ta’wili Ayyil Qur’an (24: 491). (Tuasikal, 2011).

Dua firman Allah Swt di atas sekilas seolah-olah saling bertentang satu dengan yang lain. Ayat pertama melarang hidup berlebih-lebihan, sedangkan ayat kedua justru memerintahkan menampakkan nikmat yang diterima. Hidup sederhana banyak dimaknai dengan hidup yang tidak berlebih-lebihan. Sehingga dalam praktik di kehidupan bermasyarakat, ada anggapan bahwa orang yang hidup sederhana adalah orang yang hidupnya tidak bermewah-mewahan, hidupnya tidak glamour, dan hidupnya tidak berfoya-foya. Sementara pemahaman terhadap ayat kedua bahwa Allah Swt memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menampakkan secara lahiriyah terhadap nikmat-nikmat Allah yang diterimanya. Berdasarkan dua ayat tersebut diatas, tampak bahwa kata “hidup sederhana” itu sulit dideskripsikan. Hidup sederhana bukanlah hidup layaknya orang miskin. Hidup sederhana bukanlah hidup tanpa berkecukupan. Hidup sederhana bukanlah hidup serba kekurangan. Dan hidup sederhana bukanlah hidup yang serba pelit.

Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hidup sederhana itu merupakan sebuah konsep tentang implementasi cara hidup yang tidak berlebih-lebihan dengan tetap menampakkan nimat-nikmat Allah Swt yang telah diterima. Merujuk pengertian ini, maka batasan tentang bagaimana hidup sederhana tidak terletak pada orang lain, melainkan pada diri sendiri. Seseorang tidak dapat menilai orang lain apakah telah menerapkan hidup sederhana atau hidup bermewah-mewahan karena ia pasti menggunakan standar hidupnya sendiri untuk menilai kehidupan orang lain. Batasan hidup sederhana ditentukan oleh masing-masing orang dimana antara orang satu dengan orang lain mungkin saja berbeda. Sebagai ilustrasi misalnya A adalah  orang yang berpenghasilan 10 juta perbulan, setiap hari ia pergi ke kantor mengendarai mobil dan makan di restoran. Sementara B adalah orang yang berpenghasilan 1 juta perbulan, setiap hari ia mengendarai sepeda motor dan makan di warung pinggir jalan. Apakah A dan B termasuk hidup sederhana atau berlebih-lebihan? Maka jawabannya adalah keduanya bisa termasuk menerapkan hidup  sederhana tapi juga bisa termasuk kategori hidup berlebih-lebihan. Mengapa? Karena bergantung pada parameter yang digunakan untuk menilai. A bisa saja menilai B hidupnya terlalu pelit karena makannya memilih di warung pinggir jalan yang murah, sedangkan B bisa saja menilai A hidup berlebih-lebihan karena makannya selalu di restoran mahal (menurut ukuran dia). Tetapi baik A maupun B bisa juga dikategorikan sebagai hidup berlebih-lebihan menurut pandangan C yang kerjanya sebagai buruh serabutan dengan penghasilan kecil dan tidak menentu. Bagi C, baik makan di warung kecil di pinggir jalan maupun di restoran mahal sama-sama pemborosan dan menghambur-hamburkan uang. Bagi si C, kalau seandainya A dan B membawa bekal makan dari rumah, maka uangnya dapat dihemat.

Demikianlah setiap orang memiliki parameter dan sudut pandang tersendiri untuk mengkategorikan hidup sederhana atau berlebih-lebihan. Maka sikap yang bijaksana adalah janganlah kita menilai gaya hidup orang lain. Janganlah kita ngrusuhi hidup orang lain.  Setiap orang memiliki pola kehidupan dan gaya hidup yang berbeda-beda menyesuaikan lingkungannya. Gaya hidup orang yang berada di lingkungan kerja perkantoran akan berbeda dengan gaya hidup orang yang berada di lingkungan buruh. Kita harus menyadari bahwa setiap orang memiliki jenis kebutuhan dan skala prioritas yang berbeda-beda. Mungkin ada orang yang setiap hari baru mampu memenuhi kebutuhan pokok saja, misalnya kebutuhan makan, itupun masih kerepotan., tetapi ada pula orang yang sudah melampaui kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok, ia bahkan mampu memenuhi kebutuhan sekunder dan mungkin tersier. Maka gaya hidup dan skala prioritas kebutuhan hidup mereka pastilah berbeda.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat kita ambil pelajaran hidup bahwa janganlah suka menilai kehidupan orang lain karena kita tidak mengetahui bagaimana tuntutan dan prioritas kebutuhan hidup orang lain. Ingatlah peribahasa “janganlah menilai ukuran sepatu orang lain dengan ukuran kaki kita”, yang maksudnya adalah janganlah menilai kehidupan orang lain dengan standar kehidupan kita. Seseorang dikategorikan hidup sederhana atau tidak bergantung parameter hidup yang digunakan. Kita sendirilah yang paling tahu apakah gaya hidup kita  selama ini masuk kategori sederhana, berlebih-lebihan atau masih wajar-wajar saja. Semuanya kembali ke masing-masing orang. Tetapi yang terpenting, dalam menjalani kehidupan ini untuk urusan duniawi lihatlah orang lain yang lebih rendah dari kita sehingga akan muncul rasa syukur kepada Allah Swt atas karunia nikmat-nikmat-Nya.

Syukur merupakan intisari dalam menjalani kehidupan dunia ini. Syukur merupakan indikator atau parameter derajat ketakwaan seseorang. Syukur merupakan manifestasi dari peribadahan kita. Orang yang bertakwa akan selalu mensyukuri nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan Allah Swt. Allah Swt telah menjanjikan bahwa bagi hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-nikmat-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya berikut.  

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim [14]: 7).

Hidup sederhana memang mudah diucapkan secara lisan tetapi sulit dideskripsikan, apalagi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimanakah gambaran hidup sederhana yang benar sebagaimana yang dituntunkan agama, hanya Allah Swt sajalah yang Mahamengetahui. Demikian pembahasan tentang hidup sederhana menurut tuntutan agama ini penulis sampaikan. Semoga bermanfaat. Amin. []

 

Referensi :

Kamus Besar Bahasa Indonesia online. Tersedia online di https://kbbi.web.id

Tuasikal, M.A. (2011). Tampakkanlah nimat Allah. Tersedia online di https://rumaysho.com/2027-tampakkanlah-nikmat-allah.html. Diakses tanggal 02 Maret 2020.


__________________________________________

*Agung Nugroho Catur Saputro. Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Peraih juara 1 Nasional lomba penulisan buku pelajaran Kimia SMA/MA di Kementerian Agama RI. Penulis Buku Nonfiksi tersertifikasi BNSP yang telah menerbitkan 100+ judul buku dan memiliki 38 sertifikat hak cipta dari Kemenkumham RI. Beliau dapat dihubungi melalui nomor WhatsApp: 081329023054, email: anc_saputro@yahoo.co.id, dan website: https://sharing-literasi.blogspot.com.

Sabtu, 14 Oktober 2023

PUTRI KECIL KAMI YANG SHALIHAH



 PUTRI KECIL KAMI YANG SHALIHAH

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro




Tadi sore si kecil minta diajak jalan-jalan (maksudnya pergi ke toko) karena ada yang ingin dibeli. Saya mengiyakan permintaan si kecil sekalian makan malam di luar. Kamipun pergi menuju mall terdekat. Sampai di parkiran mall, ternyata adzan Maghrib sudah berkumandang, maka kami pun segera menuju ke masjid untuk sholat Maghrib.

Karena maminya sedang tidak sholat, maka kami bertanya ke si kecil, "Mami sedang libur sholat, adek sholatnya bagaimana?" Si kecil menjawab, "Adek sholat sendiri, mami mengantar saja". Akhirnya maminya menemani si kecil berwudhu, kemudian si kecil masuk ke masjid sendirian dan bergabung dengan jamaah putri.

Alhamdulillah, kami bersyukur si kecil sudah mampu menjaga sholat fardhunya. Di usianya yang belum ada tujuh tahun, baru mendekati enam tahun, dia sudah mau mendirikan sholat fardhu dan sholat sunah setiap harinya. Ya Allah, jagalah hati putri kecil kami agar selalu dekat dengan-Mu. Aamiin yaa robbal'aalamiin.


Rabu, 13 September 2023

MENGUNGKAP PESAN TERSIRAT ALLAH SWT DALAM KATA "ZARRAH"

MENGUNGKAP PESAN TERSIRAT ALLAH SWT DALAM KATA "ZARRAH"

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro



Dalam Al Quran, Allah Swt berfirman: 
"Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat "zarrah", niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat "zarrah", niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. Az-Zalzalah [9]: 7-8).

Firman Allah Swt tersebut menyebutkan kata "zarrah" untuk menunjukkan suatu "ukuran" yang sangat kecil. Dalam beberapa terjemahan Al Quran versi lama, kata "zarrah" diartikan "seberat biji sawi". Ada pula yang menerjemahkan "seberat debu yang terbang". Kemudian kata "zarrah" ada yang menerjemahkan "seberat atom".

Terjemahan kata "zarrah" sebagai "seberat atom" mungkin didasarkan atas sepengetahuan penerjemahnya bahwa "atom" adalah benda terkecil. Padahal sains modern telah mengakui bahwa atom bukan partikel terkecil di alam semesta, tetapi atom masih tersusun lagi atas partikel-partikel sub atomik yang lebih kecil ukurannya seperti proton, neutron, dan elektron.

Berdasarkan perkembangan sains modern tersebut, apakah akan ada penerjemah Al Quran yang akan menerjemahkan kata "zarrah" sebagai "seberat proton" atau "seberat neutron", atau "seberat elektron"?

Dari penjelasan tersebut tampak jelas bahwa makna kata "zarrah" dalam Al Quran berubah-ubah mengikuti perkembangan ilmu sains. Redaksional dalam Al Quran masih tetap sama (tidak berubah), tetapi terjemahan maknanya berubah. Hal ini menujukkan bahwa Al Quran itu berlaku sepanjang massa, artinya zaman apapun Al Quran masih relevan.

Yang terkesan "tidak relevan" atau "ketinggalan zaman" adalah terjemahan Al Quran, bukan Al Quran. Al Quran tidak akan pernah "kedaluwarsa" (out of date) karena Al Quran adalah firman Allah Swt. Terjemahan Al Quran bisa terkesan "kedaluwarsa" karena terjemahan Al Quran adalah buatan manusia (penerjemah) yang terkadang ilmunya sudah ketinggalan zaman. Jadi sangat jelas bahwa makna kata "zarrah" dalam firman Allah Swt tersebut masih "misteri", hanya Allah Swt saja lah yang mengetahui makna sebenarnya.

Dalam artikel ini penulis tidak memfokuskan pembahasan pada makna "zarrah", tetapi penulis akan memfokuskan pembahasan pada tujuan dan maksud Allah Swt menyebutkan kata "zarrah" dalam Al Quran. Dalam surat Az-Zalzalah : 7-8 tersebut, mengapa Allah Swt mengenalkan istilah "zarrah" untuk menggambarkan suatu "ukuran" yang sangat kecil dari sesuatu, baik kebaikan maupun kejahatan. Ada apa dengan "ukuran sangat kecil"? Apakah Allah Swt memiliki tujuan tertentu dengan menyebutkan kata "zarrah"? Pesan tersirat apakah yang hendak Allah Swt ajarkan kepada umat manusia? Adakah misteri di balik pengungkapan kata "zarrah" dalam Al Quran?

Pada perkembangan iptek saat ini, para ilmuwan sains sedang memfokuskan risetnya di bidang nanosains dan nanoteknologi. Nanosains dan nanoteknologi merupakan bidang kajian ilmu dan rekayasa material dalam wilayah nanometer.

Para ilmuwan sains memandang bahwa nanosains dan nanoteknologi kemungkinan dapat memberikan perubahan besar terhadap peradaban manusia di abad ke -21. Hal itu disebabkan oleh banyaknya potensi penerapan teknologi baru yang didasarkan pada sifat-sifat material baru (satu nanometer adalah sepersatumilyar meter, sebagai pembanding lebar rambut manusia yang ukurannya kira-kira sebesar 50.000 nanometer).

Pada material berukuran nanometer, dijumpai sifat elektronik, sifat magnetik, sifat optik, dan reaktivitas katalitik baru di mana sifat baru ini tidak dijumpai pada material berukuran lebih besar dari 100 nanometer. Jadi jika suatu material berukuran sekitar 1-100 nm akan muncul sifat-sifat baru yang tidak ditemukan pada material berukuran lebih besar dari 100 nm.

Fenomena kemunculan sifat baru dari material berukuran 1-100 nm telah menyadarkan para ilmuwan sains tentang adanya pengaruh "ukuran" terhadap sifat material, dan pengaruh "ukuran" tersebut hanya dijumpai pada material yang berukuran sangat kecil sekali, yaitu pada rentang ukuran 1-100 nm. Inilah "keanehan" sifat material yang ditemukan para ilmuwan sains.

Menurut para ilmuan sains, munculnya sifat baru pada material yang berukuran sangat kecil sekali (1-100 nm) didasarkan atas dua alasan, yakni meningkatnya luas permukaan (surface area) dan munculnya efek ukuran kuantum (quantum size effect).

Pada material berukuran 1-100 nm terjadi interaksi antar partikel sebagai efek dari ukuran kuantum yang menyebabkan munculnya sifat-sifat baru dan khas pada material. Sifat-sifat baru dan khas tersebut tidak terjadi pada material berukuran lebih besar dari 100 nm. Dengan mengandalkan sifat material yang khas ini maka diharapkan tercipta produk baru dengan kinerja material yang lebih kuat, lebih ringan, dan lebih cepat.

Jika pembaca pernah melihat film kartun "Dragon Ball", di mana dalam film kartun tersebut digambarkan adanya kapsul yang diproduksi oleh perusahan "Capsule Corporation" yang jika dilempar akan berubah menjadi sebuah pesawat. Sebuah pesawat supercanggih dapat disimpan dalam sebuah tempat berukuran kapsul. Mungkin seperti itulah gambaran salah satu penerapan nanosains dan nanoteknologi di masa depan.

Mungkin di antara pembaca ada yang berpikiran apa mungkin gambaran dalam film kartun yang hanya hasil imajinasi kartunis tersebut suatu saat nanti terealisasi? Itulah teknologi dikembangkan, pada awalnya hanya imajinasi tetapi kemudian terealisasi.

Pada film-film kartun tahun 1980an digambarkan adanya teknologi canggih yang memungkinkan orang berbicara melalui layar. Waktu penulis masih kecil ketika melihat film kartun tersebut, timbul pertanyaan "kok bisa ya orang berbicara dengan TV?" Apa yang digambarkan dalam film kartun tersebut (yang dulu hanya imajinasi saja) sekarang ini telah benar-benar ada dan dinikmati orang sekarang, yaitu "video call". Ya, video call adalah salah satu teknologi yang dulu hanya sebatas imajinasi belaka.

Kita kembali pada pembahasan nanosains dan nanoteknologi. Pemanfaatan keunggulan material berukuran nano menjanjikan peluang eksplorasi untuk menciptakan teknologi baru dengan pencapaian melampaui apa yang telah dicapai oleh bidang komputer dan bioteknologi di beberapa dekade ini.

Penerapan nanosains dan nanoteknologi diharapkan mampu membawa perubahan infrastruktur yang dramatis, semisal pembuatan komputer yang super cepat, membuat pesawat yang lebih ringan, menampakkan sel-sel kanker yang sulit diamati mata manusia, terciptanya teknologi sel surya yang sangat efisien dalam mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik, terciptanya baterai-baterai berkinerja tinggi dari material nano yang mampu menyimpan energi listrik sangat besar dan tahan lama dengan waktu isi ulang yang cepat. Dan produk-produk dramatis lain yang diharapkan suatu saat dapat diperoleh dari pengembangan nanosains dan nanoteknologi. Teknologi sekarang memiliki kecenderungan mengarah pada "small size" dan sebagian buktinya sudah kita nikmati saat ini.

Demikian ulasan penulis tentang kemungkinan adanya maksud tersirat dari Allah Swt dengan mengenalkan istilah "zarrah" yang menggambarkan ukuran benda yang sangat kecil dan ditemukannya fenomena alam berupa keanehan dan keajaiban sifat dari material berukuran nano.

Berdasarkan ulasan di atas, apakah kata "zarrah" dalam Al Quran berkaitan dengan kemunculan nanosains dan nanoteknologi? Apakah adanya kata "zarrah" dalam Al Quran menunjukkan pesan tersirat Allah Swt tentang adanya "rahasia" di balik "ukuran benda-benda sangat kecil" yang akhirnya terungkap oleh nanosains dan nanoteknologi? WaAllahu a'lam.


__________________________________________

*Agung Nugroho Catur Saputro. Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Peraih juara 1 Nasional lomba penulisan buku pelajaran Kimia SMA/MA di Kementerian Agama RI. Penulis Buku Nonfiksi tersertifikasi BNSP yang telah menerbitkan 100+ judul buku dan memiliki 37 sertifikat hak cipta dari Kemenkumham RI. Beliau dapat dihubungi melalui nomor WhatsApp: 081329023054, email: anc_saputro@yahoo.co.id, dan website: https://sharing-literasi.blogspot.com.

Postingan Populer