Powered By Blogger

Minggu, 29 September 2024

AGAMA DAN AKAL


AGAMA DAN AKAL

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Akal dan agama apakah bisa berdampingan? Redaksi lain adalah sains dan agama apakah bisa berdampingan? Apakah beragama perlu menggunakan akal atau tidak? Agama berasal dari wahyu atau firman Tuhan. Oleh karena itu, agama masuk domain keyakinan (keimanan). Apakah dalam agama masih ada ruang untuk eksistensi akal?

Islam adalah agama wahyu yang sangat mengakomodir penggunaan akal. Dalam banyak ayat, Allah Swt. menyuruh umat Islam untuk menggunakan akalnya untuk berpikir. Bahkan dalam Al-Qur'an kata "akal" disebutkan sebanyak 49 kali, sedangkan kata "berpikir" yang sangat berkaitan dengan penggunakal disebutkan sebanyak 18 kali.

Fakta-fakta dalam Al-Qur'an tersebut menunjukkan bahwa Islam sangat konsen terhadap penggunaan akal dan aktivitas berpikir. Akal tidak bisa dipisahkan dari Islam. Akal adalah keistimewaan yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Akal adalah pembeda antara manusia dengan makhluk lain. Penggunaan akal untuk berpikir merupakan ciri khas manusia.

Manusia diberikan keistimewaan oleh Allah SWT berupa akal untuk berpikir. Manusia ditugaskan sebagai pengelola atau khalifah di bumi tentu membutuhkan alat pendukung. Nah, agar manusia dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah fii al-ardh dengan baik, maka Allah SWT mengaruniakan nikmat akal kepada manusia sebagai bekal untuk menjalani kehidupan.

Dengan akal tersebut, manusia diharapkan mampu berpikir, berkreasi, dan berinovasi terkait bagaimana mengelola alam agar kehidupannya menjadi lebih baik. Akal juga berguna untuk menimbang dan memutuskan apakah suatu tindakan atau perilaku itu benar atau salah. Kemampuan untuk menimbang dan memutuskan suatu permasalahan merupakan kelebihan dari akal manusia.

Akal tidak boleh bekerja sendiri. Jika akal bekerja sendiri, maka bisa jadi akan mengambil keputusan yang gegabah hanya karena ketidakmampuannya dalam memikirkan permasalahan yang di luar domainnya. Misalnya adalah masalah kebaikan. Kebaikan bukan ranah akal karena ranah akal adalah terkait kebenaran (benar-salah). Adapun kebaikan termasuk domain hati (spiritual). Baik atau buruk bukanlah domain kebenaran yang menjadi wilayah kerja akal, melainkan masuk wilayah kerja hati (qolbu).

Agama berkaitan dengan keyakinan hati yang membahas seputar kebaikan (baik-buruk). Agama bukan untuk memutuskan kebenaran, melainkan memutuskan masalah-masalah yang terkait amal kebaikan. Agama diturunkan untuk memperbaiki akhlak, yaitu sikap dan perilaku umat manusia. Maka dapat dipahami bahwa tujuan beragama adalah untuk memperbaiki akhlak. Jadi idealnya orang yang beragama adalah orang yang berakhlak baik. Kalau ada seseorang yang mengaku beragama tetapi akhlaknya tidak baik, maka beragamanya belum sempurna.

Akhlak mulia menjadi kunci penting dalam pembahasan agama. Agama identik dengan akhlak baik atau akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Agama tidak diidentikkan dengan masalah benar-salah, tetapi identik dengan masalah baik-buruk. Atas dasar ini, maka idealnya orang yang beragama adalah orang yang baik akhlaknya. Dan kebaikan itu adalah bersifat universal. Kebaikan bukan hanya milik agama, suku, bangsa tertentu.

Perbuatan baik seperti menolong orang lain yang kesusahan akan dipandang sebagai perbuatan baik oleh siapapun dan agama apapun. Perbuatan buruk (jahat) seperti mencuri akan dipandang sebagai perbuatan jahat oleh siapapun dan agama apapun. Maka kalau ada kasus suatu ajaran agama atau kepercayaan tertentu yang menyuruh atau membenarkan tindakan kejahatan seperti mencuri, maka perlu dicurigai kebenaran ajarannya.

Beragama juga perlu menggunakan akal. Di sini akal berguna dalam memberikan pertimbangan tentang kebenaran ajaran agama atau kepercayaan. Jangan sampai kita terjebak dalam situasi mempercayai suatu ajaran agama atau kepercayaan tertentu yang bertentangan dengan pikiran akal sehat kita. Akal bermanfaat dalam menilai kebenaran suatu ajaran agama atau keyakinan.

Karena agama sangat berkaitan dengan pengamalan ajaran agama oleh penganutnya, maka di sinilah terkadang bisa menjadikan kebingungan bagi pemeluk agama tersebut untuk menilai dan memutuskan apakah perilaku yang diperlihatkan oleh para tokoh agama (oknum) tersebut mencerminkan asli ajaran agamanya atau hanya penafsiran dan pemahaman dari para tokoh agama.

Sebagai contoh, misalnya penetapan hukum suatu perbuatan. Logika akal harusnya hukum atas suatu perbuatan adalah berasal dari ajaran agama, bukan pendapat satu orang tokoh agama. Mengapa penetapan hukum agama menurut logika akal harusnya tidak berasal dari pendapat satu orang saja dikarenakan pendapat tersebut bisa sangat subjektif.

Setiap orang memiliki pandangan, pendapat, minat, hobi, klangenan, maupun kesukaan yang berbeda-beda. Dalam penetapan suatu hukum, jangan sampai karena unsur "tidak suka" atau "kurang berminat", seseorang menghukumi suatu perbuatan sebagai perbuatan yang haram (dilarang dan berdosa). Makanya ketika menetapkan sebuah hukum, harus dilepaskan dari unsur egoisme pribadi maupun subjektivitas pribadi seseorang. Dan hal ini tidaklah mudah.

Kebenaran ajaran agama diyakini bersifat mutlak karena berasal dari Tuhan. Sementara pemikiran dan pendapat seseorang bersifat relatif. Oleh karena itu, suatu produk hukum tidak boleh dihasilkan dari satu orang saja, melainkan harus berasal dari pemikiran banyak orang agar produk hukum yang dihasilkan dapat meminimalkan unsur subjektivitasnya.

Pemikiran seseorang dalam menetapkan produk hukum hanyalah sebatas pendekatan saja, sehingga kebenarannya masih sangat relatif. Maka, ketika suatu produk hukum dihasilkan dari pemikiran banyak orang, sifat relativitasnya menjadi semakin minimal sehingga kebenaran produk hukumnya dimungkinkan "mendekati" kebenaran mutlak, walaupun tidak sama dengan benar mutlak. Wallahu alam. []


Gumpang Baru, 22 September 2024

KAPAN SEBAIKNYA MULAI MENGAJARI ANAK SHALAT?

 


KAPAN SEBAIKNYA MULAI MENGAJARI ANAK SHALAT?

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Shalat fardhu merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim dan muslimat, baik orang dewasa maupun anak-anak yang telah akil baligh. Shalat menduduki posisi istimewa dibandingkan ibadah-ibadah wajib lainnya. Shalat merupakan satu-satunya ibadah yang diperintahkan Allah Swt kepada Rasulullah Saw secara langsung tanpa melalui perantara malaikat Jibril. Shalat merupakan amalan pertama yang nanti dihisab pada yaumil akhir. Shalat merupakan pembeda (furqan) antara orang Islam dan orang kafir. Shalat mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan keistimewaan-keistimewaan shalat yang lain. Semuanya ini menunjukkan bahwa shalat menduduki posisi penting dalam ajaran agama Islam.

Dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman :
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa,” (Q.S. ThaHa [20]:132).

Firman Allah Swt ini menjadi dasar hukum yang berlaku dan mengikat bagi semua orang tua untuk mengajarkan anak-anak mereka agar melaksanakan (mendirikan) shalat. Mengenalkan ibadah shalat ke anak merupakan kewajiban bagi setiap orang tua karena diperintahkan Allah Swt. Perintah ini bersifat mutlak dan pasti, tidak diragukan lagi keabsahannya (validitas) serta tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dan kami pun sebagai orang tua yang baru memiliki anak balita juga sangat memahami kewajiban tersebut.

Dulu ketika awal-awal mempunyai anak, saat anak lanang (anak pertama kami) masih balita, kami sempat bingung dan bimbang terkait perintah mengajarkan anak untuk shalat. Kami bingung dengan pertanyaan, kapan sebaiknya mulai mengajarkan anak tentang kewajiban ibadah kepada Tuhannya (Shalat)? Apakah menunggu sampai anak lanang berusia 7 tahun baru mengajarinya sholat? Sebagaimana hadis Rasulullah Saw berikut ini.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika mereka meninggalkan shalat). Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara anak laki-laki dan anak perempuan)!”
(Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 495; Ahmad, II/180, 187; Al-Hakim, I/197

Setelah cukup lama kami berpikir, dengan mempertimbangankan banyak hal, akhirnya kami menempuh cara dengan terlebih dahulu mengenalkan anak dengan gerakan-gerakan shalat melalui aktivitas mendekatkan anak saat kami shalat. Dengan rutin melihat orang tuanya shalat, kami berharap anak kami akan belajar sendiri meniru-nirukan gerakan sholat. Sebagai sama-sama lulusan sarjana pendidikan, kami berdua memahami teori pendidikan bahwa setiap anak memiliki kemampuan untuk mengimitasi atau meniru apapun yang dilihat dan didengarnya. Hal ini karena semua orang memiliki kecenderungan untuk meniru perbuatan orang lain, semata mata karena hal itu merupakan bagian dari sifat biologis mereka untuk melakukan hal tersebut. Imitasi memainkan peranan yang sentral dalam transmisi kebudayaan dan pengetahuan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya (Tarde, 1903). Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963) telah melakukan eksperimen pada anak - anak yang juga berkenaan dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati bahwa peniruan dapat berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model (orang yang ditiru) meskipun pengamatan itu tidak dilakukan terus menerus.

Maka, seiring berjalannya waktu, sambil membesarkan si kecil anak lanang, akhirnya kami-orang tua baru- menyadari bahwa Allah Swt memang Tuhan yang Maha Adil dan Maha Penyayang. DIA menciptakan manusia disertai dengan bekal potensi dan kemampuan untuk belajar sendiri (self-learning) yang melekat pada diri anak. Anak lanang kami yang masih balita ternyata memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengimitasi (meniru) gerakan-gerakan shalat tanpa kami ajari. Si kecil anak lanang kami telah mampu melaksanakan fitrah kehidupannya, ia berhasil melaksanakan tugas perkembangannya melalui aktivitas melihat, meniru, dan kami pun menambahkannya dengan aktivitas membiasakannya. Kami meyakini bahwa suatu aktivitas jika diulang-ulang terus-menerus suatu saat akan dapat menjadi kebiasaan (habit).

Maka kami pun mulai mengenalkan anak lanang dengan aktivitas shalat sejak dia usia balita dengan cara membiasakannya melihat gerakan shalat orang tuanya. Lama-kelamaan anak lanang mulai belajar menirukan gerakan-gerakan shalat. Oleh karena itu, akhirnya sejak sebelum masuk sekolah TK, anak lanang sudah rutin dan terbiasa mengerjakan shalat wajib (shalat fardhu) lima waktu hingga sekarang ketika dia mulai memasuki usia remaja. Alhamdulillah, sejak pertama kali kami mengajaknya mengerjakan shalat ketika dia masih balita hingga sekarang, belum pernah sekalipun dia menolaknya atau berkata malas atau capek. Setiap kami mengajak atau mengingatkan dia untuk shalat, dia segera bergegas mengambil air wudlu.

Demikianlah yang kami lakukan -- yang notabene orang tua baru yang sedang mencari pola pengasuhan dan pendidikan keluarga yang tepat untuk anak -- untuk mengenalkan dan mengajarkan ajaran-ajaran agama Islam kepada anak kami. Kami masih terus belajar dan mencari pola yang paling tepat untuk mendidik dan membentuk anak kami menjadi pribadi yang memiliki akhlak, adab, dan karakter yang baik. Kami pun sebagai orang tua juga masih terus berupaya belajar bagaimana menjadi sosok orang tua yang baik dan mampu menginspirasi anak kami agar kelak mereka mampu menjalani kehidupannya secara baik dan benar sesuai ajaran agama yang diridhai Allah Swt.

Pola pendidikan agama untuk anak di rumah, kami memilih cara moderat dalam mengajarkan nilai-nilai spiritual ke anak-anak kami. Menurut kami, ajaran agama itu harus dibiasakan dan dihayati, bukan didoktrinasikan. Anak harus dibiasakan menjalankan kewajiban ibadahnya sejak kecil sehingga menjadi habit. Anak harus dilatih terbiasa menikmati proses mengenal agamanya. Kami memilih tidak banyak menceramahi anak tentang ajaran Islam, tetapi kami lebih memilih dengan cara memberikan contoh bagaimana akhlak dan perilaku seorang muslim. Kami lebih memilih mendampingi anak mengenal shalat dan membiasakannya sejak anak masih kecil.

Pun demikian, metode dan pendekatan yang sama juga sedang kami terapkan pada anak kedua kami, Icha si bidadari kecil kami. Kami mulai mengenalkan gerakan-gerakan shalat kepadanya. Kami mulai mengenalkan si kecil dengan sajadah untuk alas shalat. Kami mulai mengenalkan si kecil aktivitas berdoa setelah sholat. Sejauh ini pendekatan yang kami terapkan untuk bidadari kecil kami menunjukkan progres yang baik. Kami melihat bidadari kecil kami mulai mengimitasi dan mempraktikan secara autodidak gerakan-gerakan shalat. Kami hanya memberikan contoh dan membiasakan si kecil melihat sendiri bagaimana orang tuanya shalat. Hal ini sebagaimana metode yang dipergunakan Rasulullah Saw ketika mengajarkan shalat kepada para sahabatnya dengan sabdanya, "Shalatlah sebagaimana kalian melihatku mengerjakan shalat" (HR. Bukhori). WaAllahu a'lam. []

MENGAGUMI KEPRIBADIAN RASULULLAH MUHAMMAD SAW.


MENGAGUMI KEPRIBADIAN RASULULLAH MUHAMMAD SAW.

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro




Tahun 1987 Dr. Michael H. Hart pernah menerbitkan sebuah buku yang sangat mengejutkan seluruh dunia yaitu berjudul The 100 yang diterjemahkan menjadi 100 Orang paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah. Buku tersebut sangat mengejutkan dunia karena Michael H. Hart telah menempatkan Rasulullah Muhammad Saw di urutan pertama dari daftar 100 tokoh dunia paling berpengaruh dalam sejarah. Mengapa Rasulullah Muhammad Saw bisa ditempatkan di urutan nomor wahid mengalahkan tokoh-tokoh besar dunia lainnya? Michael H. Hart menjelaskan alasannya. Dia meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih kesuksesan luar bisaa baik ditinjau dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi (King, 2008).

Apa yang dilakukan oleh Michael H. Hart tersebut tidaklah berlebihan. Apa yang dikatakannya adalah benar adanya. Selain Michael H. Hart, banyak ahli sejarah dunia yang memiliki pemikiran dan pandangan yang senada dengan pendapatnya. Allan Menzies (1845), Profesor of Divinity and Biblical Criticism, University of St Andrews, Edinburgh, Skotlandia dalam bukunya History of Religion memaparkan apa yang paling luar bisaa tentang Islam adalah kecepatan pertumbuhannya. Muhammad Saw mengawali hidupnya sebagai seorang penggembala miskin, dan pada saat wafatnya mewariskan kepada umat Islam sebuah negara yang dalam waktu singkat mampu mengalahkan negara-negara besar lain. Dalam setengah abad, Islam telah menjadi agama bangsanya yang semula menentangnya, dan tidak hanya bangsanya sendiri, tetapi banyak negara lainnya. Dalam waktu yang singkat, agama yang dibawanya (Islam) telah menjadi agama nasional, dan bahkan telah melampaui nasional ke tahap universal, dimana hanya dua agama lain yang telah mencapainya. Kemajuan yang dicapai Kristen yang perlu waktu berabad-abad, dicapai Islam dalam beberapa dekade. Gelar Islam sebagai agama universal tidak dapat dipungkiri (Menzies, 2015).

Pendapat lain tentang luar biasanya Rasulullah Muhammad Saw disampaikan oleh Philip K. Hitti (1886) dalam bukunya The Arabs: A Short History. Philip K. Hitti menggambarkan kekagumannya pada sosok Rasulullah Muhammad Saw dengan ungkapan kalimat, ”Dalam rentang hidupnya yang singkat, dan beranjak dari lingkungan yang tidak menjanjikan, Muhammad telah mengilhami terbentuknya satu bangsa yang tidak pernah bersatu sebelumnya, di sebuah negeri yang hingga saat ini hanyalah satu ungkapan geografis; membangun sebuah agama yang luas wilayahnya mengalahkan Kristen dan Yahudi, serta diikuti sejumlah besar manusia; ia telah meletakkan landasan bagi sebuah imperium yang dalam waktu singkat berhasil memperluas batas wilayahnya dan membangun berbagai kota yang kelak menjadi pusat-pusat peradaban dunia” (Hitti, 2018).

Beberapa pendapat para penulis sejarah dunia tersebut di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Muhammad Saw adalah seorang nabi dan rasul yang memiliki kepribadian yang berbeda dengan manusia biasa pada umumnya. Keistimewaan yang ada pada diri Rasulullah Saw tercermin dalam akhlak dan kepribadian beliau. Akhlak dan segala tindakan yang dilakukan Rasulullah Saw adalah berdasarkan wahyu dari Allah swt yang mengandung ajaran penting bagi umat Islam. Segala tindakan, sikap, dan ketetapan beliau merupakan penjelasan Al-Quran, yang dikenal dengan al-Hadis atau sunah rasul. Aisyah r.a. pernah mengatakan bahwa jika ingin melihat Al-Qura’an berjalan, maka lihatlah akhlak Rasulullah Muhammad Saw. Perkataan istri beliau tersebut menunjukkan bahwa akhlak Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari tidak berdasarkan keinginan dan nafsu pribadi beliau tetapi semuanya adalah didasarkan atas wahyu yang diwahyukan.

Berangkat dari pemikiran di atas, sudah sepatutnya kita umat Islam untuk meneladani dan mencontoh akhlak Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku, sikap dan tindakan kita dalam kehidupan sehari-hari hendaknya kita nisbatkan pada akhlak Rasulullah Saw. Mencontoh akhlak Rasulullah Saw tidak hanya sebatas pada lingkup tuntutan ibadah, tetapi juga sampai hal-hal kecil dalam kehidupan. Amal ibadah dan akhlak kita hendaknya mencontoh kepada ibadah dan akhlak Rasulullah Saw.

Bagi para pemimpin bisa mencontoh bagaimana beliau memimpin umat Islam. Bagi para pemuda bisa mencontoh bagaimana akhlak beliau ketika masih muda. Bagi para pebisnis dan pedagang bisa mencontoh bagaimana cara beliau berdagang. Bagi para pendidik bisa mencontoh bagaimana beliau mendidik para sahabat dan umat Islam sehingga menjadi umat yang disegani dunia. Bagi para pejabat pemerintahan bisa mencontoh bagaimana beliau menjalankan roda pemerintahan. Bagi para suami bisa mencontoh bagaimana akhlak beliau kepada keluarganya. Bagi para aktivis dakwah bisa mencontoh bagaimana cara beliau mendakwahkan agama Islam. Dan lain sebagainya. Hampir semua lini kehidupan ada contohnya pada diri Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw memang diturunkan ke dunia untuk menyempurnakan akhlak yang baik (akhlak al-karimah). Sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasulullah, beliau telah menunjukkan akhlak yang mulia. Bukti bagaimana ketinggian akhlak beliau adalah kaum Quraisy di Mekkah memberi beliau gelar “al-Amin” yang artinya orang yang terpercaya. Gelar tersebut tidak mungkin disematkan ke beliau jika beliau bukan orang yang bisa dipercaya dan bahkan sangat bisa dipercaya. Gelar penghormatan tersebut hanya mungkin beliau peroleh jika beliau memang orang yang sangat bisa dipercaya atau sangat jujur, dan orang-orang di sekitarnya yang pernah berinteraksi dengan beliau mengetahui dan menyaksikan sendiri bagaimana keluhuran akhlak budi pekerti beliau.

Ketika Rasulullah saw berusia 35 tahun, kaum Quraisy mengadakan pertemuan dalam rangka perbaikan bangunan Ka’bah. Mereka bermaksud memberi atap pada Ka’bah. Bangunan Ka’bah pada saat itu terdiri atas batu-batu yang disusun bertumpang-tindih, tanpa dicampur dengan tanah, dengan bangunan yang tinggi. Oleh karena itu, harus dihancurkan dan dibuat bangunan yang baru (Hasani an-Nadwi, 2020: 179). Proses perbaikan bangunan Ka’bah awalnya baik-baik dan lancar-lancar saja hingga akhirnya terjadi perselisihan yang hebat dan hampir berujung pada pertumpahan darah antar suku. Apakah gerangan yang diperselisihkan oleh para kepala suku di Mekkah hingga hampir terjadi pertumpahan darah di antara mereka? Ternyata sumber terjadinya perselisihan adalah siapakah yang paling berhak untuk meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya semula. Setiap kepala suku mengklaim dirinya dan sukunya sebagai yang paling terhormat sehingga paling berhak untuk mengembalikan batu mulia tersebut ke tempatnya. Karena semua suku saling mengklaim dirinya yang paling berhak meletakkan Hajar Aswad, maka terjadilah perselisihan hebat dan hampir berakhir dengan pertumpahan darah.

Perselisihan yang hebat dan hampir menumpahkan darah tersebut akhirnya dapat dihentikan dengan adanya kesepakatan di antara mereka bahwa orang pertama yang masuk dari pintu Masjidil Haram akan memutuskan perselisihan di antara mereka. Dan ternyata orang pertama yang masuk dari pintu Masjidil Haram adalah Rasulullah Muhammad saw. Ketika mereka melihatnya, mereka berkata, “Ia orang yang tepercaya, kami rela! Ia adalah Muhammad.” (Hasani an-Nadwi, 2020: 180). Semua kepala suku menyetujui Rasululah saw yang meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya. Semua kepala suku menyetujui dipilihnya Rasulullah saw karena mereka semua mengetahui bahwa Rasulullah saw adalah orang yang sangat dapat dipercaya. Rasulullah saw adalah orang yang sangat jujur dan berbudi pekerti yang baik. Rasulullah saw adalah orang yang paling tepat untuk memperoleh kehormatan mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula.

Berdasarkan kesepakatan para kepala suku tersebut, kemudian Rasulullah saw meminta sehelai kain. Beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya di atas kain dengan tangan beliau sendiri. Kemudian beliau berkata, “Setiap (pemimpin) suku hendaknya memegang sudut kain ini, kemudian angkatlah bersama-sama.” Mereka melakukan perintah Rasulullah saw. Ketika sampai pada tempatnya, beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya di tempat semula. Selanjutnya pembangunan diteruskan hingga selesai. Tindakan Rasulullah saw melibatkan semua kepala suku dalam proses peletakkan Hajar Aswad menunjukkan keluhuran akhlak beliau. Beliau tetap menghormati para kepala suku dengan mengikutkan serta dalam peletakkan Hajar Aswad ke tempat semula (Hasani an-Nadwi, 2020: 180).

Rasulullah saw memiliki akhlak yang luhur. Keluhuran akhlak Rasulullah saw bahkan mendapat pengakuan dari Allah swt sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al Qalam [68]: 4.
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Q.S. Al Qalam [68]: 4)
Juga firman Allah dalam Q.S. Al Ahzab [33]: 21
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. Al Ahzab [33]: 21)

Tentang keluhuran budi pekerti Rasulullah Saw, Syekh Mahmud al-Mishri dalam bukunya Sirah Rasulullah: Perjalanan Hidup Manusia Mulia menuliskan bahwa “Budi pekerti Nabi Muhammad saw yang agung sangat tampak dalam kesehariannya, seperti 1). Memiliki keistimewaan berupa lisan yang fasih dan mengena dalam berbicara., 2). Sosok yang penyantun, penyabar, dan pemaaf. Sifat-sifat tersebut merupakan didikan langsung dari Allah. Setiap penyantun dikenal kebaikannya dan terjaga dari kesalahan. Rasulullah saw memiliki kesabaran luar biasa meskipun makin banyak yang menyakitinya. Begitu juga, beliau selalu bersikap santun terhadap perbuatan berlebihan yang dilakukan orang-orang jahil terhadapnya” (Al-Mishri, 2014: 10).

Bukti-bukti tentang keluhuran akhlak dan kemuliaan kepribadian baginda Rasulullah Muhammad saw banyak diriwayatkan oleh para ulama. Dalam beberapa literatur diceritakan bagaimana luhur dan mulianya akhlak Rasulullah saw. Rasulullah saw adalah seorarng yang dermawan. Bukti dari sifat dermawan beliau adalah selalu memberi tanpa ada rasa takut menjadi fakir. Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi saw adalah orang yang paling dermawan, apalagi di bulan Ramadhan, yaitu saat malaikat Jibril menemuinya. Malaikat Jibril sendiri menemui beliau setiap malam di bulan Ramadhan untuk tadarus Al-Quran. Rasulullah lebih cepat dalam menggapai kebaikan daripada angina yang berhembus (HR. Bukhori) (Al-Mishri, 2014: 10).

Rasulullah saw adalah seorang yang sangat pemberani dan seorang pemimpin yang melindungi keselamatan rakyatnya. Anas mengatakan bahwa tatkala penduduk Madinah dikagetkan pada suatu malam, mereka mendatangi sumber suara. Rasulullah menjumpai mereka-setelah mendahului mereka dalam mendatangi sumber suara-, beliau dalam keadaan menunggang kuda milik Abu Thalhah yang berkalung pedang di lehernya. Beliau pun bersabda, “Kalian belum terjaga, kalian belum terjaga” (HR. Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) (Al-Mishri, 2014: 11).

Rasulullah saw adalah seorang pendidik. Rasulullah saw telah mendefiniskan tugas asasinya, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk memberi pengajaran”. Al-Quran al-Karim dengan sangat tegas juga menyebut tugas asasi Rasulullah saw ini dalam firman-Nya,
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (Q.S. Al-Jum’ah [62]: 2).

Ayat ini menyebutkan bahwa tugas Rasulullah saw adalah mengajar, mendidik, mengajarkan Al-Kitab dan hikmah, serta mendidik orang berdasarkan keduanya. Sebagian terbesar kehidupan Rasul saw dihabiskan untuk ini, karena dari hal inilah segala kebaikan akan lahir (Hawwa, 2002: 212).

Rasulullah saw adalah orang yang rendah hati dan bersahaja. Dalam kitab Bathalul Abthaal, penulisnya mengatakan, “Sifat yang dimiliki seorang pahlawan terdepan, dari dulu hingga kini masih hidup, jelas sepanjang sejarah kepribadiannya yang mulia yaitu kesahajaan dan kerendahan hati. Dengan keduanya Muhammad saw menjadi contoh nyata, seorang yang mulia, yang lahir dari lubuk hatinya dan tidak dibuat-buat dengan cara menipu. Muhammad adalah kesahajaan yang menjelma dalam bentuk manusia, lahir dari lubuk hatinya yang paling dalam. Menghapus gemerlapnya pemimpin dari kerajaan, perhiasan dan kepongahan, serta ucapan dan perbuatan yang menipu manusia. Muhammad adalah seorang yang dekat, mudah, dan bersahaja. Mengunjungi orang-orang yang terjauh dan yang terdekat, sahabat-sahabatnya, musuh-musuhnya, anggota keluarganya. Menemui delegasi-delegasi dari berbagai Negara tanpa dibuat-buat atau bersandiwara, tetapi dengan sebenarnya, tanpa bersandiwara (Hawwa, 2002: 181).

Demikian tulisan singkat yang memotret tentang keluhuran akhlak dan kepribadian Rasulullah Muhammad saw. Bertepatan dengan momentum peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw 1445 H ini, dengan membaca sejarah kehidupan beliau yang penuh hikmah semoga kita dapat meneladani akhlak mulia beliau. Marilah kita selalu membaca shalawat kepada Rasulullah saw. Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid.” []


Referensi
Al-Mishri, S. M. (2014). Sirah Rasulullah: Perjalanan Hidup Manusia Mulia. Surakarta: Tinta Medina.
Hasani an-Nadwi, A. H. al-Ali. (2020). Sirah Nabawiyah: Sejarah Lengkap Nabi Muhammad Saw. Yogyakarta: DIVA Press.
Hawwa, S. (2002). Ar-Rasul Muhammad Saw. Surakarta: Media Insani Press.
Hitti, P. K. (2018). A Short History of The Arabs: Sejarah Ringkas Peradaban Arab-Islam (Terjemahan dari The Arabs: A Short History diterbitkan MacMillan, London, 1960). Jakarta: Qalam.
King, J. C. (2008). Revolusi Kepemimpinan: Everyday Greatness. Jakarta: KJL Press.
Menzies, A. (2015). History of Religion: Sejarah Kepercayaan dan Agama-Agama Besar Dunia (Terjemahan dari History of Religion, diterbitkan New York Charles Scribner’s Son, New York, 1895). Yogyakarta: Penerbit INDOLITERASI.

HAKIKAT DOA: Wujud Kasih Sayang Allah SWT kepada hamba-Nya

HAKIKAT DOA: Wujud Kasih Sayang Allah SWT kepada hamba-Nya

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Mungkin kita masih ingat beberapa waktu yang lalu ketika di awal-awal terjadinya euforia keberadaan media sosial seperti facebook, twitter, whatsApp, dll. Muncul fenomena yang cukup menarik dan banyak diperbincangkan orang melalui media sosial. Fenomena apakah itu?

Fenomena tersebut adalah adanya trend orang-orang berlomba memposting doa dan aktivitas ibadahnya sebagai manifestasi bukti kesalehan dan kereligiusan dirinya. Bahkan sampai sekarang fenomena tersebut masih ada walaupun mulai berkurang frekuensinya.

Tetapi muncul fenomena lain postingan doa dalam bentuk komentar dari suatu berita. Jika berita yang dibaca adalah berita kebaikan maka rama-ramai orang memberikan komentar berupa doa-doa baik. Tetapi sebaliknya ketika beritanya berupa berita tindakan kejahatan atau tindakan mendzalimi orang lain, maka komentar-komentar negatif dalam bentuk doa-doa kutukan banyak diucapkan kepada pelaku kejahatan.

Sebenarnya bagaimanakah kedudukan doa dalam pandangan Allah? Bagaimana sebaiknya doa itu diucapkan? Tulisan artikel berikut ini akan sedikit mengulas tentang doa ditinjau dari dalil perintahnya dan analisis contoh sebuah doa. Selamat membaca.

Doa itu sekedar Hak ataukah Kewajiban?

Pernahkah terpikirkan oleh kita, mengapa kita harus berdoa? Apakah salah jika kita tidak berdoa? Sebenarnya berdoa itu sebuah kewajiban ataukah hanya sekedar hak? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sekilas seperti tidak ada manfaatnya, hanya buang-buang waktu dan pikiran saja (mungkin saja kata orang-orang yang tidak suka berpikir he..he..). tetapi menurut hemat penulis, pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang serius dan perlu kejelasan jawaban karena ada dampak yang mengikutinya. Keliru dalam memahami maksud pertanyaan itu bisa berakibat lain yang tidak kita inginkan.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, alangkah lebih baiknya kita tengok dulu bagaimana kedudukan doa dalam pandangan Allah Swt. Mari kita perhatikan firman Allah Swt berikut ini.

Allah Swt. Berfirman:
“Berdoalah kepada Rabb-mu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-A’raf : 55).
Juga firman Allah yang lain:
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[berdoa] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina" (QS. Al Mukmin : 60).
Juga patut kita perhatikan bagaimana tanggapan Rasulullah Saw tentang doa. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda : “Sungguh, barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Dia akan murka kepadanya”. (HR. Ahmad: II/442).

Kutipan firman Allah Swt dan hadits Rasulullah Saw tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah Swt sangat menyukai orang-orang yang berdoa. Melalui doa inilah kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya dapat terjalin. Doa merupakan sarana bagi seorang hamba untuk mendekat dan menyampaikan harapan-harapannya. Dengan kata lain, setiap orang harus selalu berdoa kepada Allah Swt. Jadi doa bukanlah “hak” tetapi bahkan merupakan “kewajiban”.

Mengapa doa merupakan kewajiban, bukan hak? Kutipan ayat dan hadits tersebut di atas telah memberikan rambu-rambu kepada kita tentang kedudukan doa dalam pandangan Allah. Doa menurut pandangan Allah Swt adalah ibadah. Doa adalah bentuk ketundukkan, kepasrahan, penyerahan diri secara totalitas seorang hamba kepada-Nya.

Berdasarkan ayat-ayat dan hadits tersebut, ada dua hal yang dapat kita garis bawahi. Pertama adalah Allah Swt sangat suka dan mendorong kepada kita untuk senantiasa berdoa kepada-Nya. Allah senang jika kita selalu berdoa kepadanya, karena doa kita merupakan manifestasi dari bukti penyembahan dan ketundukan serta kepasrahan kita kepada-Nya.

Tetapi perlu kita ingat dan harus selalu kita sadari dengan betul-betul bahwa walaupun Alah itu sangat menyukai kalau kita berdoa, bukan berarti Allah membutuhkan doa-doa kita. Allah sama sekali tidak butuh dengan lantunan doa-doa kita, tetapi justru kita-lah yang membutuhkan Allah melalui sarana doa.

Doa merupakan media resmi yang diberikan Allah Swt untuk kita agar kita dapat berkomunikasi dengan-Nya dan menyampaikan keinginan kita. Doa bisa kita ibaratkan saluran akses khusus yang diberikan Allah swt kepada kita. Doa adalah bentuk perhatian dan kasih sayang Allah kepada kita dengan menyediakan sarana khusus (bisa diibaratkan sambungan line telpon khusus) yang terkoneksi langsung kepada-Nya. Doa bisa kita maknai sebagai bentuk bukti bahwa Allah Swt sangat mengistimewakan kita. Kalau kita tidak istimewa di mata Allah, bagaimana mungkin Allah memberikan kita cara khusus untuk berkomunikasi dengan-Nya? Karena pada dasarnya Allah sama sekali tidak butuh dan sama sekali tidak bergantung pada kita.

Setiap orang diberikan saluran khusus ini tetapi dengan kecepatan akses yang berbeda-beda. Ada orang yang punya saluran akses komunikasi yang sangat cepat sehingga doa-doanya cepat dikabulkan, dan ada pula orang yang dikarunia saluran akses yang kecepatannya rendah sehingga doanya perlu waktu yang lama untuk terkabul atau bahkan tidak terkabul. Cepat atau lambatnya kecepatan akses yang kita miliki tergantung dari kadar keimanan dan amal kebaikan kita. Kalau iman kita kuat dan kita selalu berbuat baik, maka insyaAllah kita akan dikaruniai line akses dengan kecepatan dan layanan ekstra khusus.

Kedua adalah Allah Swt justru tidak suka, bahkan malah murka kepada orang-orang yang tidak mau berdoa. Dalam ayat tersebut, Allah Swt menyebut orang-orang yang tidak mau berdoa dengan sebutan orang yang “melampaui batas”. Apa maksud firman Allah ini? Mengapa orang yang tidak mau berdoa dikatakan sebagai orang yang melampaui batas? Nah, di sinilah benang merahnya. Kita harus mengetahui batasan kita, mana domain kita sebagai makhluk (yang diciptakan) dan mana domain Allah sebagai sang kholiq (pencipta).

Di satu sisi Allah sangat suka dan mendorong kita berdoa kepada-Nya, tetapi di sisi lain ketika kita tidak berdoa, Allah bukan hanya tidak suka tetapi justru murka dan menyebut kita sebagai orang melampaui batas. Jadi jelaslah di sini bahwa berdoa itu bukan hanya hak atau sesukanya kita, tetapi justru berdoa itu adalah kewajiban kita yang harus kita laksanakan sebagai bentuk ketundukkan kita kepada-Nya. Lebih parah lagi, kalau kita tidak berdoa, Allah sangat murka dan menyebut kita sebagai melampaui batas. Setelah mengetahui penjelasan ini, masihkah kita malas untuk berdoa? Pikirkanlah !!!

Selanjutnya di antara kita pasti ada yang masih penasaran dengan ayat tersebut, mengapa Allah menganggap orang yang tidak berdoa sebagai orang yang “melampaui batas” atau dengan kata lain orang yang “tidak tahu diri”? Menurut Anda kira-kira mengapa?

Kita adalah makhluk yang diberi kemampuan oleh Allah Swt tetapi serba terbatas. Manusia tidak akan mampu melakukan sesuatu melebihi batas yang ditetapkan oleh Allah Swt. Artinya dengan bahasa lebih halus, sebenarnya manusia itu adalah makhluk yang sangat lemah dan mempunyai rasa ketergantungan yang amat sangat tinggi kepada Tuhannya.

Oleh karena itu wajar-lah kalau manusia harus selalu berdoa (memohon, berharap) untuk mengimbangi kelemahannya tersebut, dan menjadi sangat tidak wajar kalau manusia tidak mau berdoa. Sebutan apa yang lebih pantas diberikan untuk orang yang tidak tahu diri selain sebutan “melampaui batas”?

Pengertian Doa

Menurut bahasa doa berasal dari Bahasa Arab الدعاء yang merupakan bentuk masdar dari mufrad داعى yang memiliki bermacam-macam arti. Dalam kamus Bahasa Arab di bawah judul huruf د, ع, و disebutkan sebagai berikut:
1. داعى, يدعو, دعوة artinya menyeru, memanggil.
2. داعي, يدعو, دعاء artinya memanggil, mendoa, memohon, meminta.
3. Dalam bentuk jama’nya ادعية artinya doa, permohonan, permintaan.
4. دعاء له artinya mendoakan kebaikan kepadanya.
5. دعاء عليه artinya mendoakan keburukan atau kejahatan kepadanya.
6. داع artinya orang yang memanggil, orang yang menyeru, orang yang memohon.
7. Dan الدعاء adalah bentuk masdarnya, yang pada umumnya diartikan sebagai suatu keinginan yang besar kepada Allah SWT dan pujian kepadaNya.
Dalam al-Qur’an terdapat 203 ayat dengan arti yang beragam.

Adapun menurut istilah doa berarti memohon kepada Allah SWT secara langsung untuk memperoleh karunia dan segala yang diridhoi-Nya dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan atau bencana yang tidak dikehendakinya (https://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/doa/). Doa adalah wujud memperlihatkan kebutuhan dan hajat dari hamba yang butuh dan lemah, yang tidak bisa memberi manfaat dan mudharat pada dirinya sendiri (Farid, 2014).

Mengevaluasi [kembali] Doa Kita

Perhatikan cerita kasus berikut ini:
"Ada seorang pengusaha sukses yang kaya raya telah ditipu dan dikhianati oleh teman bisnisnya (yang selama ini sangat dipercaya) sehingga usahanya bangkrut dan ia jatuh miskin. Ia sangat terpukul dan sangat marah pada temannya yang telah tega menipunya. Ia sama sekali tidak percaya kalau teman yang selama ini tampak sangat baik telah tega menipunya. Sebagai orang beriman yang taat, maka ia menyerahkan segalanya kepada Allah Swt. Semua musibah yang dideritanya ia adukan kepada Allah Swt. Di setiap selesai sholat, ia berdoa: "Ya Allah...temanku yang sangat ku percaya telah berkhianat kepadaku, dia telah mengkhianati persahabatan kami. Dia telah tega menipu hamba sehingga perusahaan hamba bangkrut dan hamba jatuh miskin. Ya Allah...hamba sangat terpukul dan marah kepada teman hamba tersebut. Hamba tahu Engkau Maha Adil ya Allah....maka tegakkan lah keadilan-Mu ya Allah...berikanlah teman hamba balasan yang setimpal dengan perbuatannya, timpakan penyakit yang parah kepadanya sehingga ia tidak bisa mengurus perusahannya agar nanti perusahaan juga jatuh bangkrut seperti hamba. Ya Allah...kabulkan lah doa hamba. Aamiin."

Cerita fiksi di atas sepintas seperti menceritakan sosok pengusaha yang beriman dan taat kepada Allah. Setiap kejadian yang menimpanya selalu ia pasrahkan kepada Allah. Ya...betul sekali. Tetapi penulis ingin memfokuskan pada isi doa yang dipanjatkan pengusaha tersebut, bukan cara pengusaha tersebut menyikapi musibah yang menimpanya.

Perhatikan isi doanya. Dalam doa tersebut, yang pertama sang pengusaha mengawali doanya dengan mengadukan musibah yang menimpanya. Kedua adalah mengutarakan apa yang dirasakan dirinya. Ketiga, sang pengusaha memuji Allah dengan gelar yang maha adil dan menuntut keadilan. Keempat, ia meminta Allah memberikan balasan yang setimpal untuk temannya yang berkhianat. Kelima, sang pengusaha meminta Allah menimpakan penyakit parah ke temannya sebagai bentuk hukuman untuk temannya. Keenam, ia berharap doanya dikabulkan.

Perhatikan keenam poin doa tersebut, sekilas keenam poin dalam doa tersebut semuanya baik dan wajar. Tetapi coba perhatikan lebih teliti lagi, mari kita gunakan hati nurani dan pikiran yang jernih. Perhatikan poin nomor lima, bagaimana menurut Anda? Wajarkah doa seperti itu? Layakkah doa seperti itu dilantunkan kepada Allah? Pantaskah kalau kita berdoa seperti itu? Apakah doa seperti itu memang termasuk domain kita, ataukah malah telah melanggar batas domain Allah? Apakah doa seperti itu tidak melampaui batasan kita sebagai makhluk? Bandingkan dengan poin nomor empat. Adakah perbedaan yang signifikan?

Menurut pendapat penulis, doa seperti poin kelima itu tidak pantas diucapkan kepada Allah. Mengapa tidak pantas? Ya...tidak pantas karena doa seperti itu menunjukkan seolah-olah Allah tidak bisa berlaku adil. Doa seperti itu menunjukkan seolah-olah orang yang berdoa mengatur dan mengarahkan Allah untuk memberikan keadilan-Nya dengan menghukum temannya dengan menimpakan penyakit parah dan membuat usaha temannya bangkrut sehingga jatuh miskin. Doa tersebut mengunakan kata perintah “timpakanlah”. Pantaskah seorang hamba memerintah Allah? Wajarkah seseorang yang kedudukannya lebih rendah memerintah kepada Allah yang kedudukan-Nya jauh sangat tinggi?

Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa doa itu adalah sebuah permohonan, harapan, ataupun permintaan. Permohonan, keinginan, hajat atau harapan umumnya dilakukan oleh seseorang yang posisinya berada lebih rendah, sedangkan perintah umumnya dilakukan oleh seseorang yang posisinya berada lebih tinggi.

Permohonan sewajarnya dilakukan oleh seorang pegawai, sedangkan perintah dilakukan oleh pimpinan kepada pegawainya. Sangat tidak biasa kalau sampai terjadi sebaliknya, yaitu atasan (pimpinan) memohon kepada bawahannya atau pegawainya dan bawahan memerintah atasannya. Kejadian yang tidak biasa ini mungkin saja juga bisa terjadi, tetapi umumnya tidak lazim. Jika-pun terjadi, peristiwa permohonan dan perintah ini memiliki dampak yang berbeda jauh.

Jika ada seorang direktor perusahaan (atasan atau pimpinan) mengajukan permohonan kepada pegawainya (bawahan) untuk melakukan suatu pekerjaan. Kejadian seperti ini harus dilihat dari kacamata adab kesopanan dan dirasakan dengan hati, bukan dengan penalaran. Karena jika dilihat dari sudut pandang penalaran, maka seolah-olah sang direktur merupakan sosok pemimpinan yang lemah.

Tetapi jika dilihat dari kacamata adab kesopanan dan menggunakan hati, maka akan kita temukan sosok pemimpin yang sangat menghormati dan menghargai pegawainya sebagai manusia yang memiliki kehormatan. Sang direktur bisa saja dan sangat wajar jika ia memerintah pegawainya untuk melakukan suatu pekerjaan, tetapi karena ia ingin membentuk suasana kerja yang kondusif dan penuh dengan rasa kemanusiaan dan kehormatan, maka ia rela menurunkan ego-nya dengan mengajukan permohonan (bahasa halus dan tingkat tinggi) dalam bentuk kalimat minta tolong dibandingkan perintah.

Nah, setelah memperhatikan ilustrasi dan analogi tersebut, lantas bagaimana dengan doa? Doa kalau kita maknai sebagai harapan ataupun permohonan kita kepada Allah, maka itu sangatlah pantas karena derajat kita lebih rendah. Tetapi bagaimana kalau sebaliknya? Coba kita pikirkan dengan hati yang bersih, pantaskah kita sebagai makhluk yang sangat rendah derajatnya (dibandingkan Allah Swt) memerintah Allah?

Pantaskah kita memerintah Allah Swt melakukan sesuatu sesuai cara kita? Apakah kita tidak yakin bahwa Allah itu mampu berbuat adil? Apakah kita lupa bahwa Allah itu Yang Maha Adil dan Dia-lah seadil-adilnya pemberi keadilan. Doa yang berisi harapan adalah pantas kita lakukan, tetapi kalau doa berisi perintah adalah sangat tidak pantas dan tidak layak dilakukan karena menunjukkan kita tidak paham di mana posisi kita. Wallahu a’lam. []

Referensi:

Farid, A., 2014, Tazkiyyatun Nafs: Penyucian Jiwa dalam Islam, Alih Bahasa oleh Muhammad Suhadi, Jakarta: Ummul Qura.
Anonim, 2016, Doa, tersedia online di https://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/doa/

Postingan Populer