Seri Filsafat Kimia (4)
MENGUNGKAP SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KIMIA :
Berawal dari Pencarian Batu Filsuf, Jamu Mujarab Kehidupan, hingga Teori Atom Mekanika Kuantum.
Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro
Pada zaman dulu, ada beberapa filsuf Yunani yang mencoba berpendapat tentang unsur penyusun materi. Miletus (624-527 SM) menyatakan bahwa "air" adalah unsur utama penyusun materi. Kemudian Anaximenes (585-524 SM) berpendapat bahwa "udara" adalah unsur penyusun materi. Sedangkan Ephesus (544-484 SM) menyatakan bahwa "api" itu unsur penyusun materi. Kemudian ada filsuf yang bernama Agrigentum (492-432 SM) yang memiliki pandangan bahwa materi di alam ini tersusun atas empat unsur, yaitu unsur api, unsur tanah, unsur air, dan unsur udara.
Di kalangan para filsuf Yunani, ada anggapan bahwa keempat unsur alam tersebut saling berhubungan dan pada batas tertentu hubungan antar empat unsur tersebut dipandang sejajar dengan hubungan antara badan, jiwa, akal budi, dan cinta kasih.
Bahkan fakta-fakta ilmu kimia dinyatakan dengan istilah-istilah seperti itu dan dipergunakan juga oleh para penyair dan ahli moral. Sebagai contoh seperti filsuf Agrigentum yang menganggap interaksi antar unsur membentuk materi diibaratkan seperti hubungan antara "love" dan "hate". Keseragaman antara pengertian kebendaan dan kerohanian sangat mendalam dan bertahan lama. Inilah dasar intelektual yang memungkinkan timbulnya "Alkemia".
Alkemia adalah suatu usaha yang dimulai pada tahun 200 SM di kota Alexandria untuk memadukan tafsiran teoritis dengan pengalaman praktis dalam suatu sistem teknis yang tunggal. Gagasan teoritis diperoleh dari bangsa Yunani, khususnya aliran "atomisme filosofis".
Beberapa filsuf Yunani yang termasuk aliran atomisme filosofis adalah Leukipos dan Demokritos. Leukipos (500 SM) yang merupakan pencetus " Teori Atom" yang pertama kali mengajukan teori bahwa seluruh materi terbentuk dari atom-atom yang tidak terbagi lagi dan bergerak terus serta dipisahkan oleh kekosongan. Atom ada di ruang kosong sehingga atom dapat bergerak. Semua atom menurut Leukipos adalah sama, yang berbeda hanya dalam hal ukuran, bentuk, letak dan massa.
Dalam perkembangannya, para ahli Alkemia juga menambahkan pandangan Aristoteles tentang "Prinsip Perkembangan". Menurut prinsip ini, semua benda secara alamiah berubah dan berkembang ke arah bentuk "kedewasaannya". Maka materi lebih dipandang sebagai zat organis daripada zat yang bersifat statis. Berdasarkan gagasan ini dan didukung hasil pengamatan terhadap perubahan materi, maka para ahli Alkemia menyimpulkan bahwa perkembangan juga terjadi di materi.
Pandangan bahwa materi mampu berkembang juga didukung oleh beberapa pendapat filsuf seperti Miletus (624-527 SM) dan Anaximander (610-546 SM) yang menyatakan bahwa setiap materi memiliki "jiwa" sehingga mampu bergerak dan berkembang.
Berangkat dari pemahaman tersebut, para ahli Alkemia berusaha memperoleh pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat mengulangi perkembangan alamiah dari materi-materi di alam ini di dalam bengkel atau laboratorium.
Alat-alat yang dipergunakan para ahli Alkemia direncanakan untuk menciptakan syarat-syarat yang mempercepat "perkembangan" alamiah dari logam. Peralatan yang dipergunakan antara lain tungku pelebur, tabung reaksi, "makanan" yang dicampurkan dengan logam dasar supaya berubah menjadi logam mulia seperti perak dan emas. Selain upaya mengubah logam biasa menjadi logam mulia, para ahli Alkemia juga berusaha mencari "batu filsuf" yang diyakini dapat mengubah semua benda menjadi emas.
Seorang ahli kimia dari Arab yang bernama Jabir Ibnu Hayyan (721-815) yang hidup pada masa khalifah Harun al-Rasyid dari dinasti Abbasiyah di Baghdad, tidak mempercayai pemikiran "batu filsuf" yang dapat mengubah semua barang-barang tambang (logam) menjadi emas. Tetapi walau begitu, ia tetap mencoba mengadakan serangkaian penelitian dan pengujian tentang pemikiran tersebut.
Gagasan dari filsuf Yunani seperti Miletus dan Anaximander yang menganggap bahwa materi memiliki "jiwa" juga diadopsi oleh para ahli alkemia dalam kerangka pemikiran mereka. Maka tujuan lain dari praktik alkemia adalah memisahkan jiwa (nyawa) dari materi (badan) atau mengubah badan barang-barang logam menjadi "tak berbadan". Para alkemia menyamakan gas atau uap sebagai kodrat material tak berbadan.
Penemuan proses-proses untuk memisahkan zat asam dari senyawa oksidanya mendorong para alkemis untuk percaya bahwa mereka telah menemukan suatu cara untuk memisahkan maupun mempersenyawakan kembali (dalam bentuk yang telah dibersihkan) badan (materi) dan nyawa (jiwa) benda-benda ciptaan.
Perkembangan teori kimia tidak langsung berasal dari alkemia, tetapi dari iatro-kimia, yaitu ilmu kimia medis dari para dokter (iatros, Yunani) abad XV. Para dokter beranggapan bahwa fungsi seorang ahli kimia bukanlah mengubah logam dasar menjadi emas, melainkan memperoleh obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit manusia.
Orang yang pertama kali mengemukakan gagasan tersebut adalah Paracelsus, seorang dokter bangsa Swiss. Ia mengemukakan bahwa pada dasarnya tubuh manusia merupakan suatu sistem kimia dan karena itu membutuhkan pengobatan kimiawi untuk penyembuhannya.
Obat-obatan yang diberikan itu merupakan hasil coba-coba belaka dan kerapkali menuntut persiapan bahan-bahan yang berbahaya seperti garam-garam antimon, arsen dan air raksa. Seperti para ahli alkemia, para ahli iatro-kimia pun cenderung pada ilmu gaib dan percaya akan pengaruh bintang-bintang.Mereka para ahli iatro-kimia memang tidak mencari "Batu Filsuf", melainkan "Jamu Mujarab Kehidupan" yang memberikan kesehatan dan usia panjang.
Sekalipun berbahaya, iatro-kimia yang berlangsung dua abad lamanya telah berhasil memajukan jumlah pengetahuan yang berdasarkan percobaan-percobaan dan menyebabkan diterbitkannya "Pharmacopia", yaitu suatu ensiklopedia keterangan mengenai obat-obatan dan penggunaannya.
Keberadaan unsur-unsur penyusun materi telah dipercayai oleh para ahli kimia, tetapi sampai abada XVIII mereka masih kesulitan dalam menghubungkan hasil-hasil eksperimen laboratorium dengan teori. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul 'Teori Phlogiston" untuk menjelaskan fenomena pembakaran logam.
Menurut teori Phlogiston, Phlogiston adalah "zat" yang timbul bila logam dibakar. Bila logam dipanaskan pada suhu tinggi, maka phlogiston dikeluarkan dan hanya tersisa senyawa oksida logam.
Teori Phlogiston dipercaya oleh para ahli kimia hingga Lavoisier berdasarkan data-data eksperimennya merumuskan "Hukum Kekekalan Massa". Menurut Lavoisier, dalam proses-proses kimia yang alamiah maupun yang buatan, tidak ada sesuatu yang hilang, tidak ada sesuatu yang bertambah. Sejak ditemukannya "Hukum Kekekalan Massa" oleh Lavoisier tersebut, teori Phlogiston ditinggalkan para ahli kimia.
Pada tahun 1802, seorang guru kimia sekolah di Inggris yang bernama John Dalton (1766-1844) menghidupkan kembali teori atom dan menggabungkannya dengan gagasan Lavoisier mengenai afinitas kuantitatif antar unsur-unsur. Ia mengemukakan teori atomnya yang berbeda dengan teori atom filsuf Yunani.
Teori atom Dalton mampu memberikan penjelasan yang sangat memuaskan tentang hukum Kekekalan Massa dari Lavoisier dan Hukum Perbandingan Tetap dari Proust. Oleh karena itu, teori atom Dalton dianggap sebagai "teori atom modern" yang pertama kali.
Sejak kemunculan teori atom Dalton, beberapa waktu kemudian para ahli kimia berlomba-lomba mengungkap hakikat atom penyusun materi. Setelah John Dalton, muncul J.J. Thomson dengan teori atom "Plum-Pudding" nya, Rutherford dengan penemuan inti atomnya, Niels Bohr dengan konsep "orbit" elektron, dan akhirnya teori atom mekanika kuantum.
Demikian sekilas sejarah perkembangan ilmu Kimia, mulai dari pemikiran filosofis hingga eksperimen pengujian di laboratorium dan teori berbasis persamaan matematika. []
Sumber Bacaan :
Keith Wilkes, 1982, Agama dan Ilmu Pengetahuan, Terjemahan, Jakarta : Penerbit Sinar Harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar