Powered By Blogger

Selasa, 18 Oktober 2022

SPIRITUALITAS DAN HUMANISME DALAM PENDIDIKAN

 

Sumber Gambar : https://www.dailypioneer.com/2016/vivacity/make-moral-and-spiritual-education-compulsory.html

SPIRITUALITAS DAN HUMANISME DALAM PENDIDIKAN

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban manusia. Pendidikan merupakan aset dan investasi berharga bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Tingkat pendidikan menjadi parameter kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang maju sistem pendidikannya pasti menjadi negara yang maju dan sejahtera. Sebaliknya negara yang sistem pendidikannya buruk dan tingkat pendidikan warganya rendah, maka pasti negara tersebut sulit maju dan tingkat kemakmuran warga negaranya juga rendah.

Di tingkat individual, orang yang berpendidikan akan berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan. Orang yang berpendidikan akan memiliki wawasan dan cara pandang yang luas dibandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan. Orang yang berpendidikan akan dominan menggunakan akal dan pemikiran dalam merespon permasalahan dan menyelesaikannya, sedangkan orang yang tidak berpendidikan akan cenderung menggunakan emosional dan otot dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Di sinilah letak perbedaan antara orang yang berpendidikan dengan orang yang tidak berpendidikan. Aristoteles, seorang filsuf besar bangsa Yunani, pernah mengatakan bahwa “Orang yang berpendidikan berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan sebagaimana orang hidup berbeda dengan orang mati”.

            Proses pembangunan dan peningkatan kesejahteraan suatu negara tidak bisa dilepaskan dari bagaimana sistem pendidikan di negara tersebut. Pendidikan merupakan sebuah sistem untuk memperbaiki diri dan meningkatan kompetensi. Proses pendidikan melibatkan semua kompetensi dan aspek yang dimiliki manusia, mulai dari aspek intelektual, emosional, spiritual hingga afeksi. Pendidikan adalah proses abadi tentang penyesuaian besar manusia yang secara fisik dan mental berkembang, bebas, sadar terhadap Tuhan, seperti yang diwujudkan dalam lingkungan intelektual, emosional, dan kemauan manusia (Horne, 2021).

            Pendidikan selain media untuk mentransfer pengetahuan, juga menjadi sarana untuk mengajarkan agama dan nilai-nilai moral. Sebagai contoh, keberhasilan dakwah agama Islam yang awalnya hanya di kota Mekah dan Madinah akhirnya bisa diterima oleh seluruh penduduk di Jazirah Arab dan bahkan ke seluruh penjuru dunia dikarenakan Rasulullah Muhammad Saw adalah seorang pendidik. Rasulullah Saw memiliki metode pendidikan tersendiri dalam mengajarkan agama Islam kepada para sahabatnya dan penduduk Arab. Metode dakwah dan pendidikan beliau inilah yang ditauladani umatnya dalam mendakwahkan agama Islam ke seluruh penjuru dunia. Hingga tahun 2020 jumlah umat Islam di seluruh dunia telah mencapai 1,9 milyar orang yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Jumlah umat Islam di seluruh dunia menempati urutan kedua terbesar setelah umat Kristen sebanyak 2,3 milyar yang merupakan gabungan dari umat Protestan dan Katolik (Yasmin, 2020). Data ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang bisa diterima oleh bangsa manapun. Islam diturunkan memang bukan hanya untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh umat manusia di dunia.

            Kesalahan dan kegagalan dunia pendidikan dalam mengajarkan ilmu agama dan nilai-nilai moral kepada siswa akan berdampak pada munculnya pandangan bahwa agama dan moral itu tidak perlu diajarkan ke siswa di sekolah karena setiap anak membawa fitrah kebaikan dalam dirinya.  Hal ini sebagaimana terjadi pada Alexander Sutherland Neill (1883-1973) yang melakukan penolakan terhadap pendidikan moral dan agama. Ia berpendapat bahwa jika seorang anak dibiarkan berkembang secara alami, maka ia tidak akan membutuhkan paksaan dan sanksi moral serta ajaran agama karena kebaikan alamiahnya akan terungkap dengan sendirinya. Neill lebih jauh lagi menegaskan bahwa “Saya percaya bahwa perintah morallah yang membuat anak menjadi nakal. Saya menduga apabila saya meruntuhkan ajaran moral yang diterima anak nakal, ia justru akan menjadi anak yang baik”. Agama, menurutnya, sama sekali tidak diperlukan, “Anak bebas yang menghadapi hidup dengan hasrat dan keberanian yang besar sama sekali tidak membutuhkan Tuhan.” (Hobson, Hinshelwood, Thornton, & dkk., 2015).

            Berdasarkan uraian pandangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan faktor terpenting dalam menciptakan tatanan peradaban manusia yang unggul, bermoral, religius dan bermartabat yang mengedepankan kemaslahatan bersama, kesejahteraan dan keharmonisan dalam perikehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sekolah-sekolah sekarang terkesan bukannya memfasilitasi siswa mengembangkan segala potensi diri yang dimilikinya, tetapi justru mengekangnya dalam aturan-aturan yang membelenggu kreativitas siswa. Siswa sekarang lebih banyak diarahkan sesuai keinginan guru (sekolah) dibandingkan keinginan siswa. Apa yang terjadi di sebagian sekolah-sekolah Islam terpadu adalah gambaran bagaimana potensi diri dan daya kreativitas siswa terbelenggu oleh materi pendidikan sekolah yang kurang memanusiakan sisi kemanusiaan dari siswa. Di sekolah-sekolah Islam terpadu jenis-jenis kegiatan ekstrakurikuler dibatasi hanya untuk kegiatan-kegiatan yang dianggap ada nilai ibadahnya. Sedangkan kegiatan-kegiatan yang dianggap tidak memiliki nilai ibadah dianggap tidak pantas untuk diselenggarakan.

Pengamatan penulis pribadi yang subjektif, penulis membandingkan bagaimana kondisi lingkungan sekolah dasar waktu anak penulis belajar dengan kondisi lingkungan sekolah dasar saat penulis dulu belajar. Dulu setiap ada acara-acara ceremonial di sekolah, anak-anak dilibatkan dalam mengisi acara. Berbagai jenis pertunjukkan mulai dari bermain drama, menyanyi, demonstrasi pencak silat, membaca puisi, lomba pidato, dan lain sebagainya dipertunjukkan oleh siswa. Sedangkan di sekolah anak penulis, hampir tidak ada pertunjukkan bakat dan kreativitas oleh siswa. Secara umum, siswa sekarang seperti tidak memiliki kreativitas dalam mengeksplorasi kemampuan dirinya dan menunjukkan di depan umum. Siswa-siswa zaman sekarang hanya tahunya belajar dan menikmati fasilitas yang disediakan orang tuanya dan sekolah. Siswa-siswi zaman sekarang kurang berjuang untuk memaksimalkan potensi dirinya.

Semuanya itu terjadi karena sekolah dan kalangan pendidik tidak memanusiakan siswa-siswi selayaknya manusia ciptaan Tuhan yang dibekali dengan berbagai potensi dan kemampuan yang unik. Sekolah telah mematikan daya imajinasi dan kreativitas siswa dan mencetaknya menjadi layaknya robot-robot yang miskin inovasi. Para siswa dididik layaknya robot yang hanya manut pada instruksi, bukan bagaimana mengeksplorasi segala daya kreasi dan inovasi yang ada dalam dirinya. Inilah permasalahan serius yang dihadapi dunia pendidikan saat ini.

Anak-anak sekolah sekarang juga jarang yang bisa menyanyikan lagu-lagu nasional. Mereka lebih hafal lagu-lagu pop, rock, dangdut, dan lain sebagainya dibandingkan dengan lagu-lagu kebangsaan yang merupakan lagu kepatriotisme dan nasionalisme. Hal itu terjadi karena mereka tidak mendapat pelajaran menyanyi lagu-lagu perjuangan tersebut. Mereka tidak pernah atau jarang sekali diperdengarkan lagu-lagu nasional tersebut. Dalam hal penumbuhan jiwa nasionalisme dan patriotisme, siswa-siswi sekarang hampir tidak pernah atau jika boleh dikatakan jarang sekali mengikuti upacara bendera. Di sekolah-sekolah terpadu jarang sekali menyelenggarakan upacara bendera setiap hari senin yang mana hal itu dilakukan secara rutin di sekolah-sekolah negeri. Di sinilah terjadi perbedaan yang mencolok antara sistem pendidikan di sekolah negeri dengan di sekolah Islam terpadu.

Mensikapi kondisi yang memperihatinkan tersebut, maka perlu ada upaya serius dari pemerintah (Kemendikbud, Dinas Pendidikan pemerintah daerah) untuk memantau sistem pendidikan di sekolah-sekolah islam terpadu agar jangan sampai di sekolah-sekolah tersebut terjadi degradasi rasa cinta tanah air, bangga pada bangsa dan negara sendiri, dan lunturnya nasionalisme dan patriotisme pada siswa.

Sistem pendidikan sekarang ini telah kehilangan beberapa aspek penting yang seharusnya tetap dan selalu ada. Hilangnya beberapa aspek penting tersebut dari sistem pendidikan kita tidak terlepas dari bergesernya pola pikir dan pandangan hidup orang-orang zaman sekarang yang cenderung berpikir pragmatis dibandingkan berpikir filosofis, dan berubahnya orang-orang zaman sekarang dalam memahami teks-teks kitab suci secara tekstual dibandingkan secara kontekstual. Dampaknya adalah terjadinya penyempitan dan penyederhanaan makna pendidikan secara dipaksakan.     

            Dunia selalu berubah mengikuti perubahan dan perkembangan sains dan teknologi yang terus berubah semakin modern. Oleh karena itu dibutuhkan manusia-manusia yang memiliki kemampuan untuk selalu berubah. Kemampuan beradaptasi, bertahan, dan mengembangkan diri merupakan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki manusia-manusia zaman sekarang. Keengganan dan kemalasan untuk memperbaiki kualitas diri dan berkreasi-inovasi hanya akan membuat seseorang akan jauh tertinggal dari yang lain dan akan menjadi makhluk asing di tengah pesatnya kemajuan peradaban dan modernitas kehidupan.

Mensikapi kondisi tersebut di atas, maka dunia pendidikan harus berani mengambil peran strategis dalam menyiapkan calon-calon manusia yang tangguh, survive, dan kreatif-inovatif dalam menghadapi berbagai tantangan dan persaingan global. Dunia pendidikan harus memiliki formulasi yang tepat bagaimana membekali siswa dengan kemampuan dan keterampilan serta kompetensi yang tidak mudah using oleh zaman dan berguna sepanjang masa. Oleh karena itu, pemangku dan pemegang kebijakan pendidikan harus mampu merumuskan kebijakan pendidikan yang berlaku jangka panjang dan tidak mudah usang. Maka dalam hal ini diperlukan duduk bersama semua komponen bangsa untuk membicarakan dan menemukan bentuk sistem pendidikan yang paling cocok untuk bangsa Indonesia yang berakar dari filsafat hidup bangsa Indonesia yang sudah terbukti mampu menjadikan bangsa Indonesia (bangsa Nusantara) menjadi bangsa yang besar, berdaulat, dan berperadaban tinggi.

Nilai-nilai kebanggaan dan kecintaan pada bangsa dan negara harus mendapatkan perhatian yang besar. Kecintaan pada nilai-nilai fasafah hidup bangsa sendiri yang digali dan berakar dari nilai-nilai hidup para pendahulu bangsa harus terus dipupuk dan dihidupkan di setiap hati para siswa. Kepekaan dan kesakralan hati dan pikiran terhadap sifat-sifat kemanusiaan harus terus dipompakan ke dalam hati dan sanubari setiap siswa agar mereka memiliki jiwa yang bersih dan suci.

Pendidikan sejak semula beriringan dengan kepercayaan. Kepercayaan terhadap sifat-sifat hakiki kemanusiaan sendiri, dan kepercayaan terhadap ada atau tidak adanya daya rohani yang lebih besar disbanding kekuatan manusia, yang memayungi jagat seisinya. Tiap kepercayaan bersifat lokal dan pewarisannya pada anak-cucu merupakan intisari pendidikan (Freire, Illich, Fromm, & dkk., 2015).

Pendidikan merupakan pilar peradaban dunia. Rusaknya sistem pendidikan akan beradampak pada rusak dan bobroknya peradaban dunia. Tidak terbayang bagaimana kondisi dunia ketika manusia sudah tidak memiliki peradaban yang mengedepankan nilai-nilai spiritualitas dan nilai-nilai humanisme. Sebuah tatanan kehidupan dunia yang hanya menghargai kehidupan dari sudut pandang materialistik. Sebuah bayangan yang sangat mengerikan. Na’udzubillah min dzalik.

Allah swt selalu memerintahkan umat-Nya untuk selalu berjiwa optimis dan tidak mudah berputus asa dari mengharap rahmat-Nya. Demikian pula halnya terhadap sistem pendidikan yang sedang berlangsung di Indonesia, kita tidak boleh berputus asa untuk selalu memperbaikinya dan berharap ke depannya sistem pendidikan nasional semakin baik dan mendukung sisi-sisi kemanusiaan yang spiritualis.

Kita berharap dan berdoa kepada Allah Swt, Tuhan yang membolak-balikkan hati dan pikiran manusia, agar negara kita dikaruniai para pemimpin yang sangat peduli dengan nasib generasi penerus bangsa sehingga tergerak hati mereka untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional. Kita berharap agar sistem pendidikan nasional bangsa Indonesia akan bergeser ke arah sistem pendidikan yang menjadikan kesucian batin (spiritualisme) dan nilai-nilai humanisme sebagai acuan dan tujuannya. Kita berharap agar sistem pendidikan nasional kita akan mampu membentuk siswa-siswi yang memiliki kepribadian mulia dan menghargai sisi kemanusiaan layaknya seorang manusia hakiki, bukan manusia berhati robot. Produk sistem pendidikan nasional ke depannya semoga merupakan sumber daya manusia yang unggul dalam penguasaan pengetahuan sains dan teknologi dengan dijiwai hati yang suci dan dipenuhi dengan semangat berperikemanusiaan. Semoga Allah Swt meridai. Amin. []

 

Gumpang Baru, 18 Oktober 2022

 


REFERENSI

Freire, P., Illich, I., Fromm, E., & dkk. (2015). Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hobson, P., Hinshelwood, R., Thornton, S. J., & dkk. (2015). Ide-Ide Brilian 50 Pakar Pendidikan Kontemporer  Paling Berpengaruh di Dunia Pendidikan Modern. Yogyakarta: IRCiSoD.

Horne, H. H. (2021). The Philosophy of Education. Yogyakarta: IndoLiterasi.

Yasmin, P. (2020, Des   14:55 WIB). Agama Terbesar di Dunia 2020 Berdasarkan Jumlah Pemeluknya. Retrieved January 31, 2021, from Detiknews website: https://news.detik.com/berita/d-5279850/agama-terbesar-di-dunia-2020-berdasarkan-jumlah-pemeluknya

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Postingan Populer