Sumber Gambar : https://www.dailypioneer.com/2016/vivacity/make-moral-and-spiritual-education-compulsory.html |
SPIRITUALITAS
DAN HUMANISME DALAM PENDIDIKAN
Oleh
:
Agung
Nugroho Catur Saputro
Pendidikan merupakan
sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban manusia. Pendidikan
merupakan aset dan investasi berharga bagi kemajuan peradaban suatu bangsa.
Tingkat pendidikan menjadi parameter kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang maju
sistem pendidikannya pasti menjadi negara yang maju dan sejahtera. Sebaliknya
negara yang sistem pendidikannya buruk dan tingkat pendidikan warganya rendah,
maka pasti negara tersebut sulit maju dan tingkat kemakmuran warga negaranya
juga rendah.
Di tingkat individual,
orang yang berpendidikan akan berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan.
Orang yang berpendidikan akan memiliki wawasan dan cara pandang yang luas
dibandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan. Orang yang berpendidikan
akan dominan menggunakan akal dan pemikiran dalam merespon permasalahan dan
menyelesaikannya, sedangkan orang yang tidak berpendidikan akan cenderung
menggunakan emosional dan otot dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Di
sinilah letak perbedaan antara orang yang berpendidikan dengan orang yang tidak
berpendidikan. Aristoteles, seorang filsuf besar bangsa Yunani, pernah
mengatakan bahwa “Orang yang berpendidikan berbeda dengan orang yang tidak
berpendidikan sebagaimana orang hidup berbeda dengan orang mati”.
Proses
pembangunan dan peningkatan kesejahteraan suatu negara tidak bisa dilepaskan
dari bagaimana sistem pendidikan di negara tersebut. Pendidikan merupakan sebuah
sistem untuk memperbaiki diri dan meningkatan kompetensi. Proses pendidikan
melibatkan semua kompetensi dan aspek yang dimiliki manusia, mulai dari aspek
intelektual, emosional, spiritual hingga afeksi. Pendidikan adalah proses abadi
tentang penyesuaian besar manusia yang secara fisik dan mental berkembang,
bebas, sadar terhadap Tuhan, seperti yang diwujudkan dalam lingkungan
intelektual, emosional, dan kemauan manusia (Horne,
2021).
Pendidikan
selain media untuk mentransfer pengetahuan, juga menjadi sarana untuk
mengajarkan agama dan nilai-nilai moral. Sebagai contoh, keberhasilan dakwah
agama Islam yang awalnya hanya di kota Mekah dan Madinah akhirnya bisa diterima
oleh seluruh penduduk di Jazirah Arab dan bahkan ke seluruh penjuru dunia
dikarenakan Rasulullah Muhammad Saw adalah seorang pendidik. Rasulullah Saw
memiliki metode pendidikan tersendiri dalam mengajarkan agama Islam kepada para
sahabatnya dan penduduk Arab. Metode dakwah dan pendidikan beliau inilah yang
ditauladani umatnya dalam mendakwahkan agama Islam ke seluruh penjuru dunia.
Hingga tahun 2020 jumlah umat Islam di seluruh dunia telah mencapai 1,9 milyar
orang yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Jumlah umat Islam di seluruh
dunia menempati urutan kedua terbesar setelah umat Kristen sebanyak 2,3 milyar
yang merupakan gabungan dari umat Protestan dan Katolik (Yasmin,
2020).
Data ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang bisa diterima oleh bangsa
manapun. Islam diturunkan memang bukan hanya untuk bangsa Arab saja tetapi
untuk seluruh umat manusia di dunia.
Kesalahan
dan kegagalan dunia pendidikan dalam mengajarkan ilmu agama dan nilai-nilai
moral kepada siswa akan berdampak pada munculnya pandangan bahwa agama dan
moral itu tidak perlu diajarkan ke siswa di sekolah karena setiap anak membawa
fitrah kebaikan dalam dirinya. Hal ini
sebagaimana terjadi pada Alexander Sutherland Neill (1883-1973) yang melakukan
penolakan terhadap pendidikan moral dan agama. Ia berpendapat bahwa jika
seorang anak dibiarkan berkembang secara alami, maka ia tidak akan membutuhkan
paksaan dan sanksi moral serta ajaran agama karena kebaikan alamiahnya akan
terungkap dengan sendirinya. Neill lebih jauh lagi menegaskan bahwa “Saya
percaya bahwa perintah morallah yang membuat anak menjadi nakal. Saya menduga
apabila saya meruntuhkan ajaran moral yang diterima anak nakal, ia justru akan
menjadi anak yang baik”. Agama, menurutnya, sama sekali tidak diperlukan, “Anak
bebas yang menghadapi hidup dengan hasrat dan keberanian yang besar sama sekali
tidak membutuhkan Tuhan.” (Hobson,
Hinshelwood, Thornton, & dkk., 2015).
Berdasarkan
uraian pandangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan
faktor terpenting dalam menciptakan tatanan peradaban manusia yang unggul,
bermoral, religius dan bermartabat yang mengedepankan kemaslahatan bersama,
kesejahteraan dan keharmonisan dalam perikehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Sekolah-sekolah
sekarang terkesan bukannya memfasilitasi siswa mengembangkan segala potensi
diri yang dimilikinya, tetapi justru mengekangnya dalam aturan-aturan yang
membelenggu kreativitas siswa. Siswa sekarang lebih banyak diarahkan sesuai
keinginan guru (sekolah) dibandingkan keinginan siswa. Apa yang terjadi di sebagian
sekolah-sekolah Islam terpadu adalah gambaran bagaimana potensi diri dan daya
kreativitas siswa terbelenggu oleh materi pendidikan sekolah yang kurang
memanusiakan sisi kemanusiaan dari siswa. Di sekolah-sekolah Islam terpadu
jenis-jenis kegiatan ekstrakurikuler dibatasi hanya untuk kegiatan-kegiatan
yang dianggap ada nilai ibadahnya. Sedangkan kegiatan-kegiatan yang dianggap
tidak memiliki nilai ibadah dianggap tidak pantas untuk diselenggarakan.
Pengamatan penulis pribadi
yang subjektif, penulis membandingkan bagaimana kondisi lingkungan sekolah
dasar waktu anak penulis belajar dengan kondisi lingkungan sekolah dasar saat
penulis dulu belajar. Dulu setiap ada acara-acara ceremonial di sekolah,
anak-anak dilibatkan dalam mengisi acara. Berbagai jenis pertunjukkan mulai
dari bermain drama, menyanyi, demonstrasi pencak silat, membaca puisi, lomba
pidato, dan lain sebagainya dipertunjukkan oleh siswa. Sedangkan di sekolah
anak penulis, hampir tidak ada pertunjukkan bakat dan kreativitas oleh siswa. Secara
umum, siswa sekarang seperti tidak memiliki kreativitas dalam mengeksplorasi
kemampuan dirinya dan menunjukkan di depan umum. Siswa-siswa zaman sekarang
hanya tahunya belajar dan menikmati fasilitas yang disediakan orang tuanya dan
sekolah. Siswa-siswi zaman sekarang kurang berjuang untuk memaksimalkan potensi
dirinya.
Semuanya itu terjadi
karena sekolah dan kalangan pendidik tidak memanusiakan siswa-siswi selayaknya
manusia ciptaan Tuhan yang dibekali dengan berbagai potensi dan kemampuan yang
unik. Sekolah telah mematikan daya imajinasi dan kreativitas siswa dan
mencetaknya menjadi layaknya robot-robot yang miskin inovasi. Para siswa
dididik layaknya robot yang hanya manut pada instruksi, bukan bagaimana
mengeksplorasi segala daya kreasi dan inovasi yang ada dalam dirinya. Inilah
permasalahan serius yang dihadapi dunia pendidikan saat ini.
Anak-anak sekolah
sekarang juga jarang yang bisa menyanyikan lagu-lagu nasional. Mereka lebih
hafal lagu-lagu pop, rock, dangdut, dan lain sebagainya dibandingkan dengan
lagu-lagu kebangsaan yang merupakan lagu kepatriotisme dan nasionalisme. Hal
itu terjadi karena mereka tidak mendapat pelajaran menyanyi lagu-lagu
perjuangan tersebut. Mereka tidak pernah atau jarang sekali diperdengarkan
lagu-lagu nasional tersebut. Dalam hal penumbuhan jiwa nasionalisme dan
patriotisme, siswa-siswi sekarang hampir tidak pernah atau jika boleh dikatakan
jarang sekali mengikuti upacara bendera. Di sekolah-sekolah terpadu jarang
sekali menyelenggarakan upacara bendera setiap hari senin yang mana hal itu
dilakukan secara rutin di sekolah-sekolah negeri. Di sinilah terjadi perbedaan
yang mencolok antara sistem pendidikan di sekolah negeri dengan di sekolah Islam
terpadu.
Mensikapi kondisi yang
memperihatinkan tersebut, maka perlu ada upaya serius dari pemerintah
(Kemendikbud, Dinas Pendidikan pemerintah daerah) untuk memantau sistem
pendidikan di sekolah-sekolah islam terpadu agar jangan sampai di
sekolah-sekolah tersebut terjadi degradasi rasa cinta tanah air, bangga pada
bangsa dan negara sendiri, dan lunturnya nasionalisme dan patriotisme pada
siswa.
Sistem pendidikan
sekarang ini telah kehilangan beberapa aspek penting yang seharusnya tetap dan
selalu ada. Hilangnya beberapa aspek penting tersebut dari sistem pendidikan
kita tidak terlepas dari bergesernya pola pikir dan pandangan hidup orang-orang
zaman sekarang yang cenderung berpikir pragmatis dibandingkan berpikir
filosofis, dan berubahnya orang-orang zaman sekarang dalam memahami teks-teks
kitab suci secara tekstual dibandingkan secara kontekstual. Dampaknya adalah
terjadinya penyempitan dan penyederhanaan makna pendidikan secara
dipaksakan.
Dunia
selalu berubah mengikuti perubahan dan perkembangan sains dan teknologi yang
terus berubah semakin modern. Oleh karena itu dibutuhkan manusia-manusia yang
memiliki kemampuan untuk selalu berubah. Kemampuan beradaptasi, bertahan, dan
mengembangkan diri merupakan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki
manusia-manusia zaman sekarang. Keengganan dan kemalasan untuk memperbaiki
kualitas diri dan berkreasi-inovasi hanya akan membuat seseorang akan jauh
tertinggal dari yang lain dan akan menjadi makhluk asing di tengah pesatnya
kemajuan peradaban dan modernitas kehidupan.
Mensikapi kondisi
tersebut di atas, maka dunia pendidikan harus berani mengambil peran strategis
dalam menyiapkan calon-calon manusia yang tangguh, survive, dan kreatif-inovatif
dalam menghadapi berbagai tantangan dan persaingan global. Dunia pendidikan
harus memiliki formulasi yang tepat bagaimana membekali siswa dengan kemampuan
dan keterampilan serta kompetensi yang tidak mudah using oleh zaman dan berguna
sepanjang masa. Oleh karena itu, pemangku dan pemegang kebijakan pendidikan
harus mampu merumuskan kebijakan pendidikan yang berlaku jangka panjang dan
tidak mudah usang. Maka dalam hal ini diperlukan duduk bersama semua komponen
bangsa untuk membicarakan dan menemukan bentuk sistem pendidikan yang paling
cocok untuk bangsa Indonesia yang berakar dari filsafat hidup bangsa Indonesia
yang sudah terbukti mampu menjadikan bangsa Indonesia (bangsa Nusantara)
menjadi bangsa yang besar, berdaulat, dan berperadaban tinggi.
Nilai-nilai kebanggaan
dan kecintaan pada bangsa dan negara harus mendapatkan perhatian yang besar.
Kecintaan pada nilai-nilai fasafah hidup bangsa sendiri yang digali dan berakar
dari nilai-nilai hidup para pendahulu bangsa harus terus dipupuk dan dihidupkan
di setiap hati para siswa. Kepekaan dan kesakralan hati dan pikiran terhadap
sifat-sifat kemanusiaan harus terus dipompakan ke dalam hati dan sanubari
setiap siswa agar mereka memiliki jiwa yang bersih dan suci.
Pendidikan sejak semula
beriringan dengan kepercayaan. Kepercayaan terhadap sifat-sifat hakiki
kemanusiaan sendiri, dan kepercayaan terhadap ada atau tidak adanya daya rohani
yang lebih besar disbanding kekuatan manusia, yang memayungi jagat seisinya.
Tiap kepercayaan bersifat lokal dan pewarisannya pada anak-cucu merupakan
intisari pendidikan (Freire,
Illich, Fromm, & dkk., 2015).
Pendidikan merupakan
pilar peradaban dunia. Rusaknya sistem pendidikan akan beradampak pada rusak
dan bobroknya peradaban dunia. Tidak terbayang bagaimana kondisi dunia ketika
manusia sudah tidak memiliki peradaban yang mengedepankan nilai-nilai
spiritualitas dan nilai-nilai humanisme. Sebuah tatanan kehidupan dunia yang
hanya menghargai kehidupan dari sudut pandang materialistik. Sebuah bayangan
yang sangat mengerikan. Na’udzubillah min
dzalik.
Allah swt selalu
memerintahkan umat-Nya untuk selalu berjiwa optimis dan tidak mudah berputus
asa dari mengharap rahmat-Nya. Demikian pula halnya terhadap sistem pendidikan
yang sedang berlangsung di Indonesia, kita tidak boleh berputus asa untuk
selalu memperbaikinya dan berharap ke depannya sistem pendidikan nasional
semakin baik dan mendukung sisi-sisi kemanusiaan yang spiritualis.
Kita berharap dan
berdoa kepada Allah Swt, Tuhan yang membolak-balikkan hati dan pikiran manusia,
agar negara kita dikaruniai para pemimpin yang sangat peduli dengan nasib
generasi penerus bangsa sehingga tergerak hati mereka untuk memperbaiki sistem
pendidikan nasional. Kita berharap agar sistem pendidikan nasional bangsa
Indonesia akan bergeser ke arah sistem pendidikan yang menjadikan kesucian
batin (spiritualisme) dan nilai-nilai humanisme sebagai acuan dan tujuannya.
Kita berharap agar sistem pendidikan nasional kita akan mampu membentuk
siswa-siswi yang memiliki kepribadian mulia dan menghargai sisi kemanusiaan
layaknya seorang manusia hakiki, bukan manusia berhati robot. Produk sistem
pendidikan nasional ke depannya semoga merupakan sumber daya manusia yang
unggul dalam penguasaan pengetahuan sains dan teknologi dengan dijiwai hati
yang suci dan dipenuhi dengan semangat berperikemanusiaan. Semoga Allah Swt
meridai. Amin. []
Gumpang Baru, 18 Oktober 2022
REFERENSI
Freire, P.,
Illich, I., Fromm, E., & dkk. (2015). Menggugat Pendidikan:
Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hobson, P.,
Hinshelwood, R., Thornton, S. J., & dkk. (2015). Ide-Ide Brilian 50
Pakar Pendidikan Kontemporer Paling
Berpengaruh di Dunia Pendidikan Modern. Yogyakarta: IRCiSoD.
Horne, H. H.
(2021). The Philosophy of Education. Yogyakarta: IndoLiterasi.
Yasmin, P.
(2020, Des 14:55 WIB). Agama Terbesar
di Dunia 2020 Berdasarkan Jumlah Pemeluknya. Retrieved January 31, 2021, from
Detiknews website:
https://news.detik.com/berita/d-5279850/agama-terbesar-di-dunia-2020-berdasarkan-jumlah-pemeluknya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar