Powered By Blogger

Sabtu, 18 Mei 2024

KEHIDUPAN MASA TUA

 


KEHIDUPAN MASA TUA

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro



Beberapa hari yang lalu saya punya jadwal ke dokter RS UNS untuk konsultasi tindak lanjut pasca tindakan operasi batu ginjal ke dokter urologi. Dua bulan yang lalu saya menjalani tindakan operasi penghancuran batu ginjal dengan teknik laser. Satu bulan kemudian dokter merekomendasikan saya untuk melakukan tindakan ESWL. Kontrol kemarin itu  untuk mengevaluasi hasil tindakan operasi dan ESWL.

Saat menunggu antrian di ruang tunggu poli urologi, datanglah seorang pasien laki-laki yang sudah tua dalam kondisi terbaring di tempat tidur. Seorang ibu tua mendorong bed berisi laki-laki tua tersebut. Karena di samping saya masih ada kursi kosong, maka saya mempersilakan ibu tersebut untuk duduk di kursi samping saya.  

Setelah ibu tersebut duduk dengan nyaman, saya mulai mengajak beliau ngobrol dengan diawali pertanyaan, "Pangapunten ibu, bapak gerah menopo njih?" Ibu tersebut menjawab bahwa bapak sakit tumor prostat dan sudah operasi. Tumor prostat yang diderita bapak sudah cukup parah hingga berefek ke tulang belakang sehingga menyebabkan bapak tidak bisa jalan lagi. Tujuan datang ke RS UNS adalah untuk mencari surat rujukan lagi untuk melanjutkan pengobatan di RS Moewardi. 

Setelah menjelaskan kondisi sakit suaminya, ibu tersebut kemudian balik bertanya ke saya tentang sakit saya. Saya jelaskan bahwa saya sakit batu ginjal dan sudah menjalani beberapa kali tindakan selama satu tahun ini, yaitu tiga kali operasi dan empat kali ESWL. 

Mendengar penjelasan saya tersebut, ibu tersebut kemudian menimpali bahwa ia juga terkena batu ginjal. Dokter sudah merekomendasikannya untuk operasi. Tapi karena kesibukannya merawat suaminya yang sakit tumor prostat dan lumpuh, ia mengalami kesulitan untuk menentukan jadwal waktu operasi. Beliau sedang mencari waktu yang tepat untuk operasi di sela-sela merawat suaminya yang sakit. Beliau juga bercerita bahwa sebelumnya juga habis operasi pengangkatan rahim karena ada miom. 

Mendengar cerita ibu tersebut, saya langsung terbayang betapa repotnya beliau harus merawat suaminya yang sakit sedangkan dirinya sendiri juga dalam kondisi sakit. Berkaca dari kondisi ibu dan bapak tersebut, saya bersyukur masih bisa menjalani pengobatan penyakit batu ginjal selama satu tahun ini tanpa kerepotan berarti  karena ada istri yang selalu membantu dan mendampingi saya. 

Karena beliau datang ke RS UNS hanya berdua dengan suaminya, maka saya penasaran dengan menanyakan apakah beliau datang diantar anaknya. Beliau menjawab tidak, beliau datang ke RS UNS sendirian mengantar suaminya cari surat rujukan. Anak-anaknya semuanya kerja di pondok pesantren. Anak pertama bekerja di pondok pesantren di Karanganyar, anak kedua bekerja di pondok pesantren di Solo, dan anak ketiga bekerja di pondok pesantren di Kartasura (pondok pesantren yang dimaksud tidak jauh dari rumah saya). 

Beliau cerita semuanya anak-anaknya disekolahkan di pondok pesantren sejak masih SMP terus berlanjut hingga kemudian juga bekerja di pondok pesantren. Beliau sendiri tinggal bersama suaminya di desa Jaten, Makamhaji. Saya membatin, "Oh, berarti rumah ibu ini dekat dengan rumah istri, hanya bersebelahan desa". Ibu tersebut juga bercerita bahwa ia telah sekitar sepuluh tahunan tinggal hanya berdua dengan suaminya karena anak-anaknya semua  tinggal di pondok pesantren. 

Mendengar cerita ibu tua tersebut, ada yang mengganjal dalam pikiran saya, yaitu mengapa anak-anaknya tidak ada yang tinggal di rumah bersama kedua orangtuanya, padahal jarah tempat bekerja anak-anaknya dengan rumah orangtuanya tidak terlalu jauh. Khususnya anak terakhirnya yang bekerja di pondok pesantren dekat rumah saya, kalau ditempuh dari rumah orang tuanya ke pondok pesantren pakai sepeda motor mungkin hanya butuh waktu sekitar  sepuluh menitan. 

Mendengar cerita kehidupan ibu dan bapak tua tersebut, saya tidak ingin menebak-nebak dan negative thinking mengapa mereka sampai menjalani hidup di masa tua seperti itu, tinggal sendiri berdua dalam kondisi sakit tanpa ada anak yang merawatnya. Saya berhusnudhan mungkin beliau berdua memang tidak mau merepotkan anak-anaknya sehingga memilih menjalani hidup berdua saja. Atau mungkin saja anak-anak mereka memang sedang sangat sibuk sehingga belum bisa merawat kedua orang tuanya. Ketika ibu tersebut bercerita tentang menyekolahkan anak-anaknya di pondok pesantren, saya melihat raut muka kebanggaan. 

Dari kisah kehidupan sepasang suami istri yang menjalani kehidupan masa tuanya sendirian tanpa ada anak-anak yang mendampingi dan merawatnya karena semua anak-anak tinggal dan bekerja di pondok pesantren tersebut, saya berusaha mengambil hikmah dan ibrah positif untuk kebaikan kehidupan kami nanti di masa tua. Kami tidak ingin mengalami kejadian seperti yang menimpa pasangan suami istri tersebut. 

Oleh karena itu, kami sejak awal menikah dan memiliki anak sudah  memikirkan bagaimana caranya merancang sistem pendidikan keluarga bagi anak-anak kami agar ketika besar nanti mereka selalu merindukan keluarganya. Untuk mewujudkan rencana tersebut, maka kami berusaha mengisi memori anak-anak dengan  banyak momen kebersamaan yang menyenangkan dan membahagiakan agar kelak mereka selalu ingat dan rindu suasana bahagia tersebut. Kami ingin anak-anak kami menyadari bahwa cinta sejati nan tulus dan sumber kebahagian ada di rumahnya, yakni di keluarga bersama orang tuanya. Jadi jika kelak mereka merindukan momen-momen bahagia di masa kecil, mereka akan pulang dan datang ke orang tuanya. Mereka pulang ke rumah orang tuanya bukan karena kewajiban tetapi karena rasa rindu yang membuncah di hati ingin bertemu orang tuanya. Itulah harapan sederhana kami selaku orang tua yang saat ini sedang belajar mendidik anak-anak yang masih kecil. Semoga Allah SWT meridai niat baik dan harapan kami. Amin. []


Gumpang Baru, 7 Mei 2024

Tidak ada komentar:

Postingan Populer