Powered By Blogger

Sabtu, 18 Mei 2024

MENJADI ORANG TUA YANG TIDAK EGOIS

 


MENJADI ORANG TUA YANG TIDAK EGOIS

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Beberapa waktu yang lalu, saya menjalani operasi batu ginjal yang keempat selama kurun waktu satu tahun ini. Sejak terkena penyakit batu ginjal setahun yang lalu, saya sudah menjalani empat kali tindakan operasi dan empat kali tindakan ESWL.

Jika ditotal keseluruhan, maka tindakan dokter yang dilakukan ke saya di ruang IBS (Instalasi Bedah Sentral) RS UNS selama satu tahun ini sebanyak delapan kali. Ada dua orang dokter spesialis urologi yang menangani penyakit saya. Alhamdulillah  tindakan-tindakan dokter tersebut menunjukkan progres yang baik. 

Ketika rawat inap, saya tinggal di kamar rawat inap kelas 1 dimana satu ruang berisi dua tempat tidur atau dua pasien. Ketika menjelang dhuhur saya masuk kamar rawat inap, saya masih pasien sendirian. Barulah ketika waktu Ashar datanglah pasien lain yang memasuki kamar rawat inap. 

Pasien tetangga kamar rawat inap saya tersebut adalah seorang laki-laki tua yang diantar seorang wanita tua dan seorang wanita muda. Wanita tua tersebut adalah istri pasien, sedangkan wanita muda adalah orang dekat pasien tapi bukan anak ataupun tidak ada hubungan persaudaraan. 

Bakda Sholat Maghrib, saya dan istri secara tidak sengaja mendengar obrolan percakapan suami istri tersebut. Saya tidak menyengaja berniat menguping atau mencuri dengar pembicaraan mereka berdua. Tetapi karena mereka berbicara cukup keras sehingga kami jadi ikut mendengar bahan pembicaraan mereka dengan jelas. 

Dalam obrolannya, pasangan suami istri lansia tersebut mengeluh mengapa sejak pagi hingga malam tidak ada satupun anak-anak mereka yang menengok ke rumah sakit, padahal ibunya sudah memberitahu bahwa ayahnya ngedrop dan harus dirawat di RS. Karena begitu kecewanya mereka atas sikap anak-anaknya, sang ibu berkata kepada suaminya agar bersabar, mungkin ini adalah ujian dari Allah SWT diberikan anak-anak yang kurang peduli kepada orang tuanya. 

Dari obrolan mereka tersebut, saya bisa merasakan betapa mereka sangat mengharapkan kehadiran anak-anaknya. Tetapi karena tidak ada satupun dari anak-anaknya yang datang menjenguk ke RS, mereka menjadi sangat kecewa dan bersedih hati. Mereka lantas membandingkan dengan orang lain yang bukan keluarga tetapi mau mengantar dan membantu mereka selama di RS. Mereka bingung mengapa anak-anaknya tidak ada yang datang ke RS walaupun sudah dikabari kondisi ayahnya. 

Mendengar keluh kesah dan kesedihan kedua orang tua tersebut, saya jadi ikut sedih dan kasihan kepada mereka. Di usia yang sudah tua tersebut harusnya mereka mendapatkan perhatian dari anak-anak mereka. Ketika tubuh dan otot-otot mereka sudah lemah, harusnya mereka mendapat bantuan dari tenaga anak-anaknya. Ketika mereka mulai sakit-sakitan karena faktor usia, seharusnya mereka mendapatkan pengobatan dan perawatan dari anak-anaknya. Tetapi sangat sayangkan, mereka tidak memperoleh harapan-harapan tersebut. Mereka sangat sedih dengan kondisi tersebut, mengapa mereka harus mengalaminya. 

Mendengarkan keluh kesah kedua orang tua tersebut, saya jadi kepikiran mengapa anak-anaknya tidak ada yang segera datang ke RS ketika dikabari ayahnya ngedrop dan harus dirawat di RS. Saya jadi penasaran faktor apa yang membuat anak-anak mereka terkesan kurang peduli dengan kondisi ayahnya yang sakit. Pikiran saya belum mengarah ke kesimpulan bahwa anak-anak mereka tidak peduli pada orang tuanya. Saya hanya masih penasaran mengapa anak-anak mereka tidak segera menyusul ke RS. 

Tetapi beberapa waktu kemudian, terdengar pertengkaran antar suami istri tersebut. Si ibu marah-marah ke suaminya karena selalu menyuruhnya melakukan apa saja. Si ibu marah karena suaminya seakan-akan tidak senang melihatnya istirahat sebentar. Si suami ternyata kalau sudah punya keinginan atau kemauan harus segera diwujudkan. Jadi sang suami memiliki sifat suka memerintah dan merepotkan keluarganya. 

Dari pertengkaran suami istri tersebut, saya jadi berpikiran tentang mengapa anak-anak mereka terkesan kurang peduli terhadap kondisi ayahnya. Saya menduga anak-anak mereka malas bertemu dengan ayahnya karena jika bertemu pasti akan disuruh-suruh atau direpotkan terus. Saya menduga anak-anak mereka tidak segera menyusul ke RS karena kemungkinan anak-anaknya malas untuk bertemu ayahnya. 

Dugaan saya tersebut  ternyata benar. Besoknya ketika anak-anak mereka datang menjenguk ayahnya, sang ayah langsung memerintahkan anak-anaknya melakukan sesuatu dan harus segera dilakukan. Ketika sang ayah meminta sesuatu, ibu dan anak kompak berkata "Iya" agar sang ayah tidak terus berbicara dan mengulang-ulang terus permintaannya. 

Dari kejadian yang dialami kedua orang tua tersebut, saya mengambil hikmah bahwa orang tua jangan bersifat egois dengan seenaknya memerintah dan menyuruh-nyuruh anak-anaknya. Orang tua jangan memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Berikan kebebasan kepada anak-anak untuk memilih jalan kehidupannya. Tugas orang tua hanyalah membekali anak-anak dengan kemampuan untuk menjalani hidup dengan baik. Penanaman nilai-nilai akhlak yang baik perlu dilakukan sejak anak-anak masih kecil melalui pemberian ketauladanan dan contoh nyata dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. 

Tidak kalah penting dalam pergaulan di keluarga adalah mengisi memori anak-anak dengan aktivitas-aktivitas kebersamaan dengan orang tuanya yang menyenangkan dan membahagiakan. Dengan begitu, diharapkan kelak ketika anak-anak sudah dewasa, mereka akan selalu ingat memori-memori kebersamaan tersebut dan merindukan masa-masa membahagiakan tersebut.[]


Gumpang Baru, 16 Mei 2024

Tidak ada komentar:

Postingan Populer