Sumber gambar : https://www.semanticscholar.org/paper/TEACHERS%E2%80%99-ATTITUDE-TOWARD-THE-ROLE-OF-MIND-MAPPING-Ferfad/5075f8660d6f67dc7486368b6830a6ed3d37927c/figure/4 |
Oleh :
Agung Nugroho Catur Saputro
Banyak orang ingin bisa menulis dengan mengikuti
berbagai training dan workshop menulis. Sebenarnya menulis itu mudah atau sulit
sih? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab karena bergantung pada dua factor,
yaitu siapa yang bertanya dan kepada siapa pertanyaan tersebut ditujukan. Faktor pertama adalah siapa yang
bertanya. Jika yang bertanya adalah orang yang tidak suka membaca, maka
jawabannya pasti sulit. Mengapa sulit, karena ia tidak memiliki atau minim
bahan untuk ditulis. Seseorang yang tidak suka membaca maka perbendaharaan ide
yang dimiliki pasti sedikit. Sebaliknya, jika yang bertanya adalah orang yang
suka membaca, maka jawabannya mungkin bisa mudah, mengapa? Karena kalau ia suka
membaca, maka banyak bahan hasil ia membaca yang bisa ditulis. Oleh karena itu,
karena ia sudah punya bahan yang banyak dari hasil membaca, maka hanya perlu
latihan saja untuk mengubah isi pikirannya menjadi tulisan.
Kemudian faktor kedua adalah kepada siapa pertanyaan tersebut diajukan. Jika
yang ditanya adalah orang yang tidak bisa menulis, maka jawabannya jelas pasti
sulit. Tetapi jika orang yang ditanya adalah seorang penulis atau minimal orang
yang bisa menulis, maka jawaban pertanyaan tersebut minimal tidak sulit alias
mudah atau mungkin bisa sangat mudah. Pertanyaan seperti di atas sebenarnya
merupakan pertanyaan yang tidak penting. Mengapa tidak penting? Karena jika
seseorang yang ingin belajar menulis menanyakan pertanyaan seperti itu kepada
seorang trainer menulis, maka jawaban dari sang trainer tidak akan membantu
apapun. Coba pikirkan! Apakah jika sang trainer menjawab bahwa menulis itu
mudah, lantas sang penanya langsung bisa menulis dengan lancar? Sebaliknya,
jika sang trainer menjawab bahwa menulis itu sulit, apakah jawaban tersebut
tidak justru membuat semangat penanya untuk belajar menulis menjadi tambah
kendor karena mengetahui kalau seoramg trainer menulis saja kesulitan dalam
menulis, apalagi dirinya yang belum bisa menulis. Jadi pertanyaan semacam itu
memang tidak penting dan tidak perlu ditanyakan kepada siapapun. Lantas, apa
yang harus dilakukan agar kita bisa menulis?
Seseorang jika ingin belajar menulis,
maka tidak perlu bertanya menulis itu mudah atau sulit karena tujuan ia belajar
menulis bukan untuk mengetahui mudah atau sulit, tetapi tujuannya adalah agar ia
bisa menulis. Ya, tujuan utama ia belajar menulis adalah agar ia bisa menulis. Tanpa
bertanya pun saat belum belajar menulis, ia sudah tahu kalau menulis itu sulit.
Makanya ia ingin belajar menulis agar bisa menulis. Kalau menulis itu mudah,
maka tidak mungkin ia mau belajar menulis. Nanti jika ia telah menjalani proses
belajar menulis dan ia sukses bisa menulis, maka ia juga akan tahu dengan sendiri
bahwa menulis itu mudah karena ia sekarang bisa menulis. Benar tidak alur
berpikir seperti ini? Setujukah anda dengan argumentasi seperti ini?
Saya yakin anda yang membaca artikel ini
mempunyai pendapat sendiri tentang mudah atau sulitkah menulis itu. Tetapi demikian
lah pendapat saya bahwa menulis itu bukan masalah mudah atau sulit, tetapi lebih
terpenting adalah adakah kemauan kita untuk mulai menulis atau tidak. Sebanyak apapun
training, pelatihan dan workshop menulis yang diikuti, dan sebanyak apapun
teori menulis yang telah dipelajari dari para narasumber, selama kita tidak mulai
menulis dan berlatih menulis serta membiasakan menulis setiap waktu, maka kita
tidak akan pernah bisa menulis apalagi menjadi seorang ahli menulis.
Menulis itu melibatkan proses berpikir
yang kompleks. Orang yang terbiasa berpikir linier (satu arah) ataupun lateral
(dua arah), kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam menulis. Hal ini karena untuk
bisa menulis, seseorang harus memiliki pengetahuan tentang banyak hal. Orang yang
memiliki kemampuan berpikir secara radiant thinking (segala arah, memancar) akan
memiliki pancaran pikiran sehingga memiliki pengetahuan yang komprehensif. Pancaran
pikiran adalah asosiasi-asosiasi pemikiran yang timbul dari suatu pusat
pemikiran [1]. Orang yang
terbiasa berpikir secara radiant thinking akan memiliki asosiasi pikiran yang
sangat banyak yang berkaitan dengan pusat pemikiran. Radiant thinking merupakan
proses berpikir asosiatif yang terpencar dari titik utama dan merupakan “cara
kerja alami otak”.
Dikarenakan seorang penulis itu
membutuhkan banyak ide, gagasan dan pemikiran yang baru, maka kemampuan
berpikir secara radiant thinking sangat mendukung aktivitas menulis. Jika seseorang
mengetahui pusat pikiran sebagai ide dasar tulisan kemudian ia mampu
menguraikan pusat pikiran menjadi sub-sub pusat pikiran sebagai cabang-cabang
dari ide dasarnya dengan sangat banyak, maka ia akan mampu menuliskannya dalam paragraf-paragraf
yang terstruktur dan sistematis. Dengan menggunakan cara berpikir secara
radiant thinking, seorang penulis akan mampu menghasilkan sebuah tulisan yang
kaya akan ide-ide yang inovatif. Melalui berpikir secara radiant thinking akan
membuat seorang penulis akan memiliki kreativitas yang tinggi dan kaya ide,
gagasan maupun pemikiran yang merupakan perwujudan dari daya kreasi dan
inovasinya. Jadi dapat disimpulkan bahwa menulis itu memerlukan cara berpikir
secara radiant thinking.
Seseorang yang terbiasa berpikir secara
radiant thinking akan mampu menghubungkan antar data, informasi, dan
pengetahuan baik berupa fakta, konsep, maupun teori membentuk satu pemahaman
yang komperehensif sehingga pemikirannya akan memancarkan pemahaman yang luas. Oleh
karena itu, untuk mampu menjadi seorang penulis yang memiliki kekayaan ide yang
melimpah, seseorang harus mampu dan membiasakan diri untuk berpikir secara
radiant thinking. Berpikir secara
radiant thinking merupakan cara untuk membangun sikap kreatif dan inovatif. Dengan terbiasa berpikir secara radiant
thinking, seseorang akan memiliki perbendaharaan ide yang luar biasa banyak dan
mampu menghubungkan antar ide-ide tersebut sehingga terbentuk ide-ide baru yang
jumlahnya juga luar biasa banyak.
Sebenarnya otak kita memiliki kemampuan
berpikir tidak linier. Buktinya adalah setiap hari pikiran kita melakukannya
sepanjang waktu, mengamati berbagai hal yang ada di sekitar termasuk bentuk
cetakan nonlinier : foto, ilustrasi, diagram, dan sebagainya. Namun kenyataannya
kita terbiasa berpikir secara linier, kita dilatih untuk membaca unit informasi
satu per satu dari informasi yang disajikan dalam bentuk baris. Hasil riset bidang
biokimia, fisiologi dan psikologi mutakhir yang terkait kinerja otak
menghasilkan temuan yang mengagumkan dan menggembirakan karena ternyata otak
tidak hanya nonlinier tetapi juga demikian kompleks dan saling berkaitan [2].
Mari kita bayangkan. Seseorang yang
terbiasa berpikir secara radiant thinking kepalanya akan dipenuhi dengan
ide-ide brilian dan menakjubkan. Tidak pernah habis ide yang muncul di
kepalanya karena selama otaknya terus bekerja membentuk sel-sela neuron baru yang
menghubungkan antar sel saraf di otak, maka seketika itu juga ia akan
menghasilkan ide-ide dan gagasan-gagasan baru. Sungguh luar biasa kemampuan
yang dimiliki otak kita hasil karunia dari Tuhan yang Maha Pencipta. Sungguh
beruntung orang yang mampu memaksimalkan potensi otaknya dengan melatihnya
selalu berpikir secara radiant thinking. Tidakkah kita ingin memiliki otak
dengan kinerja maksimal? Penting kita ketahui bahwa salah satu kemampuan luar
biasa otak kita yang sangat mengagumkan adalah kapasitas daya ingatnya. Kapasitasnya
luar biasa, atau tepatnya adalah tidak terbatas! Menurut Prof. Marc Rosenweig,
apabila dalam 1 detik saja kita bisa mengingat 10 informasi baru, jika kita
terus mengingat informasi-informasi baru tanpa berhenti selama 100 tahun ke
depan, kita baru mempergunakan kapasitas otak kita kurang dari 10% saja. Bahkan
hasil penelitian yang lebih ekstrim lagi, yaitu oleh seorang pakar otak dari
Rusia, Prof. Pyotr Anokhin, dia mengatakan bahwa otak kita mempunyai kemampuan
mengingat informasi sebanyak angka 1 yang diikuti angka 0 yang panjangnya
10.500.000 kilometer. Mengagumkan bukan?[1]
Sebuah penelitian tentang otak telah dilakukan.
Jika seekor hewan percobaan diberi lingkungan yang merangsang dan menantang,
misalnya kandang yang penuh dengan mainan, maka otak hewan ini menunjukkan
peningkatan yang dramatis pada hubungan-hubungan sel sarafnya. Otak hewan ini
akan lebih berat dan memiliki lebih banyak sel saraf di beberapa areanya
dibandingkan otak hewan yang diletakkan dalam kandang percobaan yang relative kosong.
Peningkatan berat otak ini akibat peningkatan jumlah sinaps -hubungan
elektrokimia- di antara neuron. Berdasarkan temuan ini, maka dapat kita renungkan.
Manakah yang akan kita pilih, memiliki otak yang ringan karena jarang dipakai
untuk berpikir ataukah otak yang lebih berat dengan sering menggunakannya untuk
berpikir? Pasti kita semua memilih otak yang berat. Nah, kita bisa terlebih
dahulu memilih jenis otak yang kita inginkan dengan memilih pengalaman yang kaya
dan bervariasi. Prosesnya dimulai di masa kanak-kanak dan berlanjut sampai saat
kita meninggal. Sekarang para ahli mengetahui bahwa otak ternyata lebih lentur
dan peka terhadap perubahan. Kita punya pilihan apakah otak kita akan berubah
atau tidak berubah dari keadaannya sekarang ini. Pertanyaan yang patut kita
renungkan adalah akankah kita membantu mendatangkan perubahan yang positif dan
memperkaya kepada struktur dan fungsi otak, atau akankah kita membiarkannya
mengalami “atrofi akibat tidak digunakan”?[3] Semuanya
kembali pada pilihan kita masing-masing. Salam kreatif! []
Sumber
Referensi
[1] S.
Windura, Mind Map Langkah Demi Langkah. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2016.
[2] T. Buzan, Gunakan Kepala Anda
[Terjemahan buku Use Your Head]. Batam: Interaksara, 2006.
[3] R. Restak, Smart and Smarter :
Cara-cara Melatih Otak Agar Kita Menjadi Lebih Pintar dan Tetap Pintar
[Terjemahan dari buku Mozart’s Brain and The Fighter Pilot : Unleashing Your
Brain’s Potential]. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Gumpang Baru, 19 November 2020
_______________________
*) Agung Nugroho Catur Saputro, S.Pd., M.Sc., ICT adalah staff
pengajar di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret
(UNS), Peraih juara 1 nasional bidang Kimia pada lomba penulisan buku pelajaran
MIPA di Kementerian Agama RI (2007), Penulis buku non fiksi tersertifikasi
BNSP, Penulis dan pegiat literasi yang telah menerbitkan lebih dari 30 judul
buku, Konsultan penerbitan buku pelajaran Kimia dan IPA, Reviewer jurnal
ilmiah terakreditasi SINTA 2, dan Trainer MindMap tersertifikasi ThinkBuzan iMindMap
Leader dan Indomindmap Certified Trainer -ICT. Penulis dapat dihubungi melalui
nomor WhatsApp +6281329023054 dan email : anc_saputro@yahoo.co.id. Tulisan-tulisan penulis dapat diakses di akun Facebook :
Agung Nugroho Catur Saputro, website https://sahabatpenakita.id
dan blog https://sharing-literasi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar