Powered By Blogger

Sabtu, 14 November 2020

TIDAK CUKUP MENGAJARI, TAPI PERLU MENGINSPIRASI


 

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro


Setiap anak yang terlahir ke dunia ini telah membawa bekal masing-masing dari Tuhannya. Ia membawa potensi diri yang dikaruniakan Tuhan kepada dirinya. Potensi diri yang dititipkan di diri masing-masing anak bersifat unik. Dan setiap anak telah membawa kapasitas kemampuan untuk memaksimalkan potensi diri tersebut.


Demikian yang selama ini saya pahami. Oleh karena itu, berangkat dari pemahaman ini saya mencoba menggunakan paradigma berpikir bahwa menginspirasi itu lebih tepat digunakan dari pada mengajari dalam proses pembelajaran. Kata menginspirasi mengandung makna mengakui adanya potensi diri pada setiap orang. Sedangkan kata mengajari seolah-olah menafikan karakteristik atau keunikan dari potensi diri masing-masing orang.


Saya memilih menggunakan kata menginspirasi karena saya menyadari bahwa setiap orang memiliki minat dan potensi diri yang bersifat karakteristik. Minat dan bidang kompetensi saya bisa saja berbeda dengan minat dan bidang kompetensi orang lain. Tetapi apakah karena minat dan bidang kompetensi berbeda, lantas kita tidak bisa berbagi pengetahuan ke orang lain?  Oh, tentu saja tidak. 


Kalau kita ingin berbagi ilmu  pengetahuan bidang keahlian (content knowledge), tentunya harus kita tujukan kepada orang yang memiliki minat yang sama dengan kita. Tetapi jika yang ingin kita bagi adalah inspirasi, maka bisa kepada siapapun karena siapapun yang terinspirasi oleh kita, dia akan mengaplikasikan dalam kehidupannya sesuai bidang keahliannya. 


Menginspirasi merepresentasikan proses pembelajaran yang mengakomodir potensi diri dan karakteristik pembelajar. Melalui proses inspirasi, seorang pembelajar akan berusaha memahami pengetahuan dan keterampilan baru dengan cara dan gayanya sendiri. 


Seorang pendidik yang menginspirasi tidak akan hanya mengajarkan cara bagaimana memperoleh suatu kompetensi, tetapi ia juga akan memberikan contoh konkret pengalamannya sendiri dalam memperoleh kompetensi tersebut. Proses pembelajaran yang menginspirasi akan meminimalkan penjelasan cara tetapi lebih banyak memberikan berbagai contoh pengalaman konkret sehingga si pembelajar akan dapat memilih dan menemukan cara yang paling cocok untuk dirinya sesuai dengan karakteristik dirinya. Di sinilah perbedaan antara mengajari dengan menginspirasi. 


Demikian pula halnya dalam menyebarkan virus literasi menulis. Setiap orang memiliki minat dan bidang keahlian yang spesifik. Sedangkan menulis merupakan kompetensi universal dimana setiap orang dapat mempelajarinya dan mempraktikkan untuk bidang keahliannya masing-masing. Oleh karenanya, mengajarkan kompetensi menulis lebih tepat dilakukan dengan cara menginspirasi melalui rekam jejak pengalaman menulis. 


Kesuksesan pembelajar dalam menulis mungkin bukan karena kepintaran gurunya dalam mengajari tetapi lebih karena sang pembelajar mampu membangkitkan semangat dan potensi menulisnya serta menemukan gaya menulisnya sendiri. Diibaratkan, guru inspiratif itu bukan hanya sekadar memberikan kail kepada siswanya untuk mencari ikan, tetapi ia memberikan inspirasi kepada siswanya bagaimana menemukan kailnya sendiri dan mampu menggunakannya. Inilah hakikat guru inspiratif.


Proses pembelajaran yang menginspirasi hanya dapat dilakukan oleh guru yang memiliki banyak pengalaman atau rekam jejak yang panjang di bidang keahliannya. Dengan menggunakan filosofi teko yang menuangkan isinya, maka guru inspiratif adalah guru yang membagikan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya kepada peserta didik. Sebagai analogi, seseorang yang memiliki pengetahuan cara berenang belum tentu bisa berenang, tetapi seorang atlit renang dapat dipastikan memiliki pengetahuan cara berenang dan bisa berbagi pengalaman cara bagaimana berenang.


Demikian sedikit inspirasi hari ini. Semoga bermanfaat. Salam literasi. []


Gumpang Baru, 15 November 2020


Tidak ada komentar:

Postingan Populer